Senin, 03 Januari 2011

Bertuhanlah Yang Kepada Tuhan

Dalam dua hari ini setidaknya ada dua tulisan yang menarik untuk dicermati. Pertama, pada (3/01) melalui tulisannya seorang Kompasianer, Jaka Setiawan menuliskan kisah nyata, Yoppi Ariyana, anak gadis korban penculikan dan pemurtadan (baca-Kristenisasi). Kedua, pada (4/01), Benny Susetyo, lebih dikenal Romo Benny, yang juga Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, menulis opini tentang catatan hitam Republik ini sepanjang 2010, tentang berbagai tindak kekerasan bernuansa agama.

Meminjam analisis Romo Benny –yang tulisannya juga dimuat di Harian Jawa Pos ini– seolah ia kehabisan nalar menyikapi negeri ini dalam hal melihat kekerasan, khususnya terhadap penganut agama minoritas. Ia menulis seperti ini, serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik sepanjang tahun 2010 dan mengalami ekskalasi yang menyedihkan. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri “Bhineka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.

Dari kedua tulisan yang antagonistik di atas kita dapat menarik suatu pemahaman bahwa perilaku jahat itu tidak dapat dipersepsikan akibat adanya faktor mayoritas atau minoritas. Komunitas apa pun, berpaham atheis atau mengaku sebagai sosok yang agamis, tetap berpotensi melakukan tindak kekerasan. Bahkan susunan kata yang bernuansa sarkastik, mengejek, menghina, tidak menghargai, seperti yang saya kutip dari tulisan Romo Benny sebagai berikut: “Begitu banyak korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik”.

Seterusnya ia menulis: “Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis tapi tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis bibir belaka. Kenyataannya ada sebagian kelompok masyarakat yang berusaha untuk memaksakan kehendaknya sendiri dan negara abai atas situasi itu. Para korban pun kesulitan mencari rasa aman, kepada siapa lagi mereka mengadu”.

Dukung FPI
Dalam konteks keputusasaan yang digambarkan Romo Benny tersebut –tanpa melihat kenyataan yang dituliskan oleh Kompasianer, Jaka Setiawan di atas– Penulis meyakini bahwa pemuka Katolik ini memiliki dasar memikiran yang segaris dengan Front Pembela Islam (FPI). Dalam berbagai kesempatan ketika memberikan pernyataan atau menulis di situs resminya Suara Islam, FPI tegas-tegas berpendapatan bahwa negeri ini adalah negara hukum (rechstaats) dan bukan negara kekuasaan (machstaats).

Namun, sikap FPI lebih elegant. Sebab, ketika komunitas yang oleh sementara masyarakat dianggap sebagai kelompok garis keras ini bertindak, mereka dianggap ekstrem. Padahal jika dicermati secara simpatik-kritis, FPI hanya akan bertindak ketika sistem (baca: negara) tidak lagi mampu bertindak. Yang menurut Romo Benny, “Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis tapi tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis bibir belaka.”

Negeri ini tidak akan pernah menjadi lebih baik, jika kita hanya pandai berceloteh. Apalagi tulisan-tulisan dalam beropini itu tidak lebih dari sekadar mencari popularitas, atau menunjukkan diri kepada pendonor (funding) di luar negeri. Dengan tulisan-tulisannya itu, seolah dirinya mempertanggungjawabkan atas dana-dana yang telah diterimanya. Tapi berdirilah, tunjukkan jati dirimu. Kalau imbauan tak lagi mempan, teriakan tak juga diindahkan, maka hancurkan oknum-oknum negara yang sengaja mempermainkan aturan-aturan hukum. Siapa pun mereka, beragama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Kong Hu Cu, apalagi atheis.

Bertuhanlah semata kepada Tuhan Allah semata. Jangan bertuhan kepada siapa pun, yang masih menyandang titel makhluk. Negara adalah makhluk, karena negara bukanlah tuhan. Jangan meneriaki negara. Jangan meminta perlindungan dan bergantung kepada negara. Karena negara tidak akan pernah mampu berbuat apa-apa. Tapi, manusia-manusia yang mengelola negara (baca: pejabat negara) itulah yang wajib diingatkan dengan cara yang baik dan santun, bila mereka menyimpang. Bila tidak mempan dinasehati, tebas lehernya, demi tegaknya hukum serta kemaslahatan umat manusia, apa pun agama dan kepercayaannya. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar