Selasa, 04 Januari 2011

Shalat! Bukan Sembahyang

Seorang ustadz, di suatu pengajian, kepada jamaahnya mengingatkan kepada agar tidak lagi menggunakan istilah “sembahyang” tapi menggunakan istilah “shalat”. Alasannya, istilah “shalat” adalah sebutan sebagaimana tertuang di dalam Alquran, sedangan istilah “sembahyang” tidak ada. Padahal, istilah “sembahyang” sudah lazim digunakan masyarakat Indonesia, apa pun agama dan kepercayaan, dalam konteks melakukan upaya ritual keagamaan.


Memang harus diakui istilah “sembahyang” tercipta dari perpaduan dua frase, sembah (tindakan menyembah) dan hyang (yang dimaknai Tuhan). Sehingga melakukan sembahyang dipahami sebagai tindakan atau melakukan serangkaian ritual yang bertujuan menyembah Tuhan. Sedangkan aktivitas shalat, hanyalah salah satu dari sekian kegiatan peribadatan umat muslim yang juga ditujukan kepada Tuhan. Tapi, haruskah dipertentangkan?

Menurut hemat Penulis, hal itu tidak perlu dipertentangkan. Dipahami saja, bahwa istilah “sembahyang” dipergunakan oleh seluruh aktivitas manusia, terlepas dari agama atau kepercayaannya, untuk beribadah kepada Tuhan. Sedangkan istilah “shalat” adalah bentuk peribadatan umat muslim dari sekian jenis peribadatan-peribadatan lainnya. Dengan kata lain, istilah “shalat” lebih sempit maknanya daripada istilah “sembahyang”.

Tak Sembahyang, Lebih Baik
Keberimanan seseorang memang diukur sampai sejauh mana dirinya menundukkan diri kepada Tuhannya, “sesuatu” yang menurut persepsi manusia adalah penguasa yang Maha Mutlak. Kepada “sesuatu” itu manusia berserah diri menyangkut diri dan kehidupannya. Maka, ketika dirinya bersembahyang secara benar dan sepenuhnya utuh menyerahkan dirinya kepada Tuhan, hakikatnya ia tidak lagi berada dalam “bahtera” gerak-gerak ritual agamanya.

Dengan kalimat lain, tatkala seseorang masih “melihat” dan “merasakan” gerakan ritual bersembahyang, di antara dirinya dengan Tuhan sesembahannya masih terdapat hijab. Yakni, “sesuatu” yang menghalangi hubungan langsung antara dia dan sesembahannya. Andai “bahtera” itu adalah sebuah kacamata, maka memakai kacamata yang benar adalah bilamana penggunanya tatkala melihat “sesuatu” tidak lagi merasakan bahwa ia berkacamata. Lalu, ia bertanya kepada isterinya, ”Di mana kacamata, saya?”. Padahal ia kenakan kacamata itu.
Sebab itu, seseorang yang hanya mengenal agama semata, tapi tidak mampu “mengenakan” kacamata agamanya itu dengan benar, maka dirinya masih setara dengan penganut atheis. Bahkan rendah. Bandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Forum Agama dan Kehidupan Masyarakat Pew (Republika.co.id, 2010) disebutkan, ateis memiliki angka pengetahuan agama tertinggi. Rata-rata orang Amerika menjawab secara benar 16 dari 32 pertanyaan tentang ilmu agama. Mereka memiliki nilai rata-rata 20,9. Selanjutnya penganut Yahudi menempati posisi kedua dengan nilai rata-rata 20,5.

Sementara itu, penganut agama Protestan hanya menjawab 16 pertanyaan dengan benar. Kemudian diikuti oleh penganut agama Katolik yang rata-rata nilainya adalah 14,7. Sementara survei sebelumnya oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa Amerika termasuk negara maju yang paling religius di dunia. Survei ini menunjukkan bahwa sejumlah besar orang Amerika tidak mengenai betul prinsip, praktik, sejarah, dan tokoh terkemuka dalam tradisi keimanan.

Hasil survei lain menunjukkan, empat dari 10 orang Katolik tidak tahu bila gereja mereka mengajarkan, bahwa roti dan anggur yang digunakan dalam komuni benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus. Setengah responden dari Protestan tidak mengidentifikasi Martin Luther sebagai orang yang memicu reformasi Protestan.

Menyimpulkan seluruh uraian di atas, andai kita semua memahami bahwa beragama hakikatnya bertujuan menduduki “kursi” kehambaan manusia di hadapan Tuhannya, tentu tidak ada penganut agama yang satu mengejek, menghina, atau menghujat penganut agama lain. Karena kebenaran dan ketidakbenaran, apa pun dasarnya, merupakan hasil persepsi manusia sebagai penganut agama yang diyakininya. Dengan kata lain, persangkaan tentang kebenaran dan ketidakbenaran terhadap suatu agama tertentu, hakikatnya merupakan tindakan yang mengokupasi hak dan wewenang Tuhan. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar