Minggu, 26 Desember 2010

Kasus HKBP: Ke mana Gerangan Kelanjutannya? # 2

Kasus penyerangan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Mustikajaya, Bekasi telah berlangsung sekitar tiga bulan lalu. Namun, hingga kini belum jelas kelanjutannya. Penyerangan itu melukai seorang pengurus HKBP Asia Lumban Toruan (50) dan Pendeta Luspida Simanjuntak (40). Kepolisian setempat berhasil membekuk sepuluh tersangka pelakunya, menurut informasinya telah ditahan untuk diperiksa guna mencari latar belakang dan motivasi tindakan anarkhis tersebut.


Ketidakjelasan kelanjutnya proses hukum tersebut jelas merugikan semua pihak, baik bagi umat Islam maupun umat Kristiani. Betapa tidak? Dalam tulisan terdahulu, Penulis menyatakan baik korban penyerangan maupun petindak penyerangan, kedua-duanya adalah tumbal kepentingan kelompok. Kelompok yang satu menggunakan agama Kristiani sebagai kedok, sedangkan kelompok yang lain menunggangi agama Islam sebagai tamengnya.

Penulis yakin, kedua korban dari pengurus HKBP Asia, sebagai pelayan Tuhan, sudah tentu tidak berani melawan ketentuan perundang-undangan. Apalagi melawan firman Tuhan mereka sendiri. Tapi faktanya, mengapa mereka cukup berani melakukannya. Melawan ketentuan perundang-undangan, melawan tindakan penyegelan pejabat pemerintahan daerah setempat. Sangat kentara bahwa kedua pihak telah diprovokasi oleh kelompok tertentu, guna memenuhi ambisinya, untuk tetap berani melawan hukum dan perangkat hukum sekaligus. 

Harian Kompas (16/12) memberitakan, kekerasan yang berlatar belakang agama di Indonesia makin marak terjadi di Indonesia. Persoalan ini harus diselesaikan dengan tuntas karena kekerasan yang menodai multikulturalisme ini bakal mengancam demokrasi Indonesia. Kekerasan yang meningkat itu dinilai akibat absennya pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang melanggar hak warga negara. Karena itu, kelompok sipil berbasis agama diminta untuk mengambil tindakan yang tak memberi toleransi kepada kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu untuk melakukan kekerasan.

Negara Absen?
Menyalahkan negara dalam soal krusial akibat kekerasan berbasis agama, menurut Penulis tidaklah bijak. Sebab eksistensi negara dalam konteks sosiologis pada dasarnya hanyalah sosok fasilitator. Negara tidak pantas menjadi tertuduh. Negara tidak berdaya tatkala badan hukum publik itu terlalu sibuk direcoki dengan pelbagai kepentingan, terutama kepentingan politik dan tekanan syahwat kekuasaan.

Para negarawan kita masih banyak yang sibuk berebut pengaruh, mengais pundi-pundi rupiah untuk membeli hak pilih rakyat. Kemiskinan dan kebodohan rakyat dipandang sebagai komoditas yang perlu dipelihara guna melanggengkan kekuasaan. Dan, bila perlu, potensi kecemburuan sosial itu direkayasa sedemikian rupa, hingga menjadi konflik horisontal, termasuk kerusuhan bermotif agama. Kasus HKBP, salah satu contohnya.

Sebab itu, untuk aparat penegak hukum, khususnya kepolisian yang kini tengah berupaya membangun citra dan kepercayaan masyarakat, sudah saatnya bertindak. Menyelidiki pokok pangkal perkaranya, menyidik kasusnya, untuk segera dilakukan penuntutan di muka hakim. Dengan demikian, kasus HKBP tidak menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat direkayasa kembali menjadi “senjata” yang dapat diarahkan ke mana saja. Termasuk ke muka kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar