Untuk menjawab dan memberikan penilaian apakah Al Quran telah gagal, memang membutuhkan banyak rangkaian kajian. Yang pertama, perlu ada jawaban memadai tentang eksistensi Al Quran sebagai kitab suci bila dibandingkan dengan kitab-kitab agama lain, yang oleh pengikutnya juga dianggap sebagai kitab suci. Tidak perlu dibedakan, apakah itu kitab suci agama “langit” atau agama “bumi”. Kedua, perlu ada penjelasan apakah ada hubungan kausalitas antara eksistensi Al Quran tersebut dengan kepentingan hidup dan dinamika kehidupan manusia.
Dan yang ketiga, ada paparan yang mampu memberikan gambaran tentang pandangan manusia dalam melihat Al Quran apakah sebagai kitab suci semata, sehingga perlu dikeramatkan dan dipuja-puji semata. Atau, apakah Al Quran diyakini sebagai pedoman untuk mengelola hidup dan dinamika kehidupan. Sebab itu, Al Quran harus dijadikan landasan perilaku yang aplikatif bagi manusia. Menjadi tuntunan dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehidupan antar-manusia, manusia dengan lingkungannya dan alam semesta, menjadi rukun dan harmonis.
Sudah banyak dipahami secara garis besar terdapat 3 (tiga) paradigma dalam memaknai ayat-ayat Quran. Pertama, adalah model tafsir yang menggunakan paradigma, bahwa selain Allah sendiri, yang memiliki kuasa untuk melakukan tafsir atas ayat-ayat Quran adalah Quran itu sendiri, kemudian Rasul pembawa risalah, para sahabat Rasul, dan kalangan tabiin –orang yang menerima langsung dari sahabat Rasul mengenai penafsiran suatu ayat– secara berjenjang. Penafsiran model ini –dikembangkan pada sekitar 207-911 Hijriyyah– menggunakan metode periwayatan (manqul). Bila tidak ditemukan, baru menafsirkan berdasarkan makna literal (mantuq) sebagaimana tersurat dalam Quran.
Kedua, adalah model tafsir yang dikembangkan pada sekitar 606-710 Hijriyyah, menggunakan paradigma, bahwa selain Allah sendiri, yang memiliki kemampuan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Quran adalah kalangan orang arif dan berilmu (al rasikhun fi al-‘ilmi). Baik ilmu tentang keagamaan Islam (al-ulum al sary’iyaah) maupun ilmu pengetahuan lainnya (al-ulum al kauniyyah), seperti ilmu sosial, ekonomi, teknologi, dan lain-lain. Interpretasi ayat Quran menurut paradigma ini banyak mempertimbangkan faktor rasional dan pentakwilan. Karena itu paradigma ini dikenal sebagai penafsiran bi al-ra’yi.
Ketiga, adalah model tafsir yang lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan bidang keilmuan Islam kontemporer, sejalan dengan pertumbuhan pandangan historisme-empirisma pada Abad 20. Paradigma yang digunakan lebih memandang bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin, sehingga harus mampu memberikan kebermaknaan bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Penafsiran model ini lebih menggunakan pendekatan fungsional terhadap ayat-ayat Quran secara konstektual serta historis kritis, yang ditujukan bagi kemanfaatan umat manusia. Paradigma penafsiran terakhir ini banyak melahirkan pemikir-pemikir Islam moderat.
Terlepas dari pilihan model tafsir terhadap Al Quran, ketika kitab suci ini dihadapkan dengan alam semesta, maka kitab suci yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu wajib mampu menjawab segala persoalan manusia, baik sebagai perintah dalam bentuk ibadah mahdoh maupun ibadah ghoiru mahdoh. Berarti pada satu sisi Al Quran harus mampu menjawab mengenai proses penciptaan alam semesta, sedangkan pada sisi lainnya Al Quran juga harus mampu menjawab persoalan yang berkait dengan manusia, seperti masalah-masalah psikologi, sosiologi, termasuk fisiologi.
Dengan kata lain, Al Quran harus mampu “menunjukkan” manfaat-manfaatnya bagi hidup dan dinamika kehidupan manusia. Baik secara individual maupun kelompok. Mengapa hanya ditujukan kepada manusia? Oleh karena hanya manusialah dalam tatanan kehidupan di alam semesta ini yang menjadi agen perubahan (agent of change), memiliki pikiran sekaligus menjadi sumber tingkah laku, apakah perilaku baik atau perilaku buruk (good behavior or bad behavior).
Kisah-kisah sukses tentang masa kejayaan Islam, entah itu dalam potret masa kerasulan Nabi Muhammad atau pada masa kekhalifahan Islam, tidaklah dapat begitu saja dijadikan dasar sebagai pembenaran, bahwasanya nilai-nilai Islam yang dijadikan kode etik perilaku pada saat itu menjadi dasar kesuksesan. Karena itu umat Islam saat ini harus mampu membuktikan, bahwa dengan menerapkan nilai-nilai Islam secara benar dan konsisten (istiqomah) akan berdampak pada lahirnya kebaikan-kebaikan individu sekaligus menciptakan ketentraman masyarakat.
Pada pemahaman yang demikian itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Al Quran tentu saja tidak lagi menjadi perilaku formalistik. Suatu sikap perilaku yang mewujud dalam bentuk simbol-simbol semata. Yang kemudian –simbol-simbol itu– menjadi dasar tindakan anarkhi, baik yang bersifat verbal (lisan) atau nn-verbal. Misalnya, tindakan pengeboman, pengrusakan, penyiksaan, penistaan, serta perilaku biadab lainnya, dengan mengatasnamakan Islam. Potret Islam –kalau kita sepakat bahwa keseharian Nabi Muhammad, meminjam pernyataan Aisyah, merupakan Al Quran yang berjalan– tentu akan tergambar seperti wujud sosok Nabinya dalam bertingkah laku.
Dan, seperti telah diuraikan pada ujung tulisan ini bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah lelaki sederhana dan rendah hati. Penyabar dengan karakter pergaulan yang lembut. Ia baik dengan siapa pun, anti diskriminasi. Rasulullah berjiwa penolong, hingga tidak pernah berkata: La’ (tidak) ketika dimintai tolong oleh siapa pun. Puncak kehormatannya sebagai sosok manusia adalah kejujurannya, hingga digelari Al Amin. Umat yang baik, yang ingin mengaplikasikan nilai-nilai Al Quran dalam setiap langkah hidupnya, tentu akan meniru-niru perilaku Nabinya. Dan, pada saat itulah kemukjizatan Al Quran tertampakan!. Dan Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Semoga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar