Minggu, 22 November 2009

“Aku” Sebagai Pusat Refleksi Kesadaran (Bag. 3)

c. Kebutuhan Sosiologi
Di samping memiliki kebutuhan fisik dan kebutuhan psikis, manusia juga mempunyai kebutuhan sosial. Dari berbagai kajian ilmu antropologi maupun sosiologi budaya terungkapkan bahwasanya eksistensi manusia itu baru memiliki arti bilamana ia berada dalam sistem sosialnya. Maka dari itu pernyataan Aristoteles seratus persen benar, bahwa manusia itu adalah binatang yang bermasyarakat sosial (zoon politicon). Dengan kata lain, jika seorang anak manusia ditelantarkan begitu saja dan dikarantinakan dari sistem kehidupan sosial, maka anak yang bersangkutan akan tumbuh dan berkembang dengan sikap-sikap yang anti sosial. Sebab, sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. P.J. Bouman, pakar sosiologi, bahwasanya dalam diri manusia itu terdapat hasrat-hasrat dan kecenderungan bernaluri untuk menggabungkan dirinya dengan individu lain dalam bentuk berkelompok, di samping adanya rasa harga diri supaya kelihatan berharga menurut pendapat orang lain (M. Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, tanpa tahun, 63)

Keberadaan manusia dalam dimensi kehidupan sosial, akan mendorong atau memotivasi manusia itu untuk berjuang dan bertahan hidup. Maka timbullah dinamika kehidupan berupa persaingan-persaingan, kompetisi-kompetisi, atau kerjasama-kerjasama antar-individu untuk meraup kesempatan hidup itu sendiri. Dengan demikian, merangkai dari kebutuhan fisik, kebutuhan psikis, serta kebutuhan sosial, telah menggerakkan manusia itu untuk berkreasi, melakukan inovasi-inovasi baru, memiliki visi-visi baru tentang bagaimana mereka dapat memenuhi kepentingannya.

Bagi manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk berekspresi, yakni mengelola potensi dirinya untuk menciptakan (to create) produk-produk bagi pemenuhan kebutuhan sosial, dipastikan ia bakal tertinggal dan teralienasikan dari masyarakat sosialnya.

Dalam tatanan masyarakat modern kita dapat menyaksikan bagaimana struktur masyarakat dibagi-bagi menjadi beberapa lapisan tertentu. Ada masyarakat elit dan ada masyarakat marginal (pinggiran atau dipinggirkan). Keadaan tersebut telah melahirkan sikap-sikap yang bernuansakan rasa ketidakadilan. Karena adanya segolongan masyarakat yang satu memberikan nilai terhadap segolongan masyarakat yang lain sebagai sekelompok manusia yang tidak berguna. Ibaratnya, ada sekelompok masyarakat yang nilai kemanusiaannya dianggap tidak lebih dari seonggok sampah, yang mesti “disapu” dan “dibersihkan” dari tatanan kehidupan modern. Gejala dehumanisasi semacam ini nyaris sudah menjadi sindroma masyarakat kota di wilayah-wilayah metropolitan.

Agaknya, patut disadari bahwa bermula dari sekadar pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat fisiologi, ternyata telah mendorong tumbuhnya kepentingan-kepentingan yang bersifat psikologi. Dan dari kepentingan terakhir ini, pada gilirannya telah melahirkan berbagai corak warna kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi penuh dengan hingar bingar dinamika sosial. Kebutuhan fisik dan kebutuhan psikis yang semula dianggap sebagai persoalan internal, kini terseret serta menjadi masalah eksternal bagi sosok manusia modern. Pemenuhan kebutuhan manusia seperti makanan, minuman, sandang, dan papan, agaknya tidak lagi terbebas dari penilaian-penilaian sosial yang mempertimbangkan gengsi dan prestise.

Dalam realitas kehidupan yang semacam itu, kebanyakan manusia telah menjadi pseudo subyect atau subyek semu, oleh karena manusia yang bersangkutan telah menjadi obyek dari egonya sendiri. Seolah manusia yang demikian itu tertipu dengan derajat-derajat dan pangkat-pangkat yang dibuatnya sendiri. Betapa tidak, bilamana manusia telah mengukur dan meletakkan tinggi rendah derajatnya pada tampilan sosok dan postur tubuhnya, atau tampilan kemegahan dari bangunan rumahnya, atau dari tingkat popularitasnya sebagai manusia dalam kehidupan sosialnya. Maka, orang pun semakin terjerembab dengan tatanan nilai-tatanan nilai baru yang sangat diskrimanatif. Perilaku hedonistik semacam ini secara jelas menyingkapkan sifatnya ketika mengajarkan bahwa kenikmatan itu sendiri adalah berharga.

Penggambaran tentang adanya perilaku manusia yang semata-mata mengabdikan dirinya bagi kenikmatan dunia sebenarnya secara tegas telah digambarkan dalam kitab suci Al Qur’an, pada surat Al-Anbiya, ayat 76, 78-81, yang mengisahkan seseorang bernama Qorun, yang hidup di masa Nabi Musa. Yakni, pengusaha kaya raya yang di zaman seperti sekarang ini dijuluki sebagai konglomerat. Pandangan hidupnya jelas, menjadikan kekayaan dan kesenangan duniawi sebagai ultimate goal kehidupan. Karena itu Qorun menguasai sumber-sumber pendapatan, yang menurut kisah sejarahnya sampai-sampai kunci gudang kekayaannya dipikul beberapa budak. Berdasarkan kisah hidupnya yang berakhir tragis karena ditelah bumi bersama-sama kekayaannya itulah, sampai hari bila ada seseorang yang menemukan harta terpendam disebut juga orang yang menemukan harta Qorun (karun).

Dengan penghargaan seperti itu, mengutip pandangan Dr. H. De Vos, maka yang penting bukan sifat kenikmatannya, melainkan semata-mata jumlah kenikmatannya. Semakin banyak kenikmatan yang diperoleh, kian baik bagi manusia yang bersangkutan; mengenai apakah yang dinikmatinya, tidaklah dipersoalkan. Karena pemenuhan hasrat-hasrat jasmani biasanya memberikan kepuasan paling menggairahkan. Maka, bentuk-bentuk hedonisme semacam ini mengajarkan agar orang mengusahakan kenikmatan jasmani, yang mengingat sifatnya senantiasa merupakan kenikmatan sekejap. Orang yang bersikap semacam itu segera akan menyimak bahwa mengejar kenikmatan jasmani tanpa mempertanyakan hal-hal lain kecuali sifat yang menggairahkan, akan diiringi kemudaratan-kemudaratan yang besar dan menimbulkan banyak rasa sakit (H. De Vos, Inleiding tot de Ethiek, Terjemahan: Pengantar Etika, 1987, 162). Sedangkan George Loewenstein, pengamat ekonomi dari Carnegie Mellon University mengatakan, sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang terus-menerus bahagia, bukanlah hidup yang baik.

Adalah menarik pula mengutip pendapat Ignace Lepp, penulis buku Psycheanalyse de l’atheisme moderne, orang-orang akan tergoda dalam suatu analisis tentang ketidakberimanan orang-orang yang beragama, untuk melangkah lebih jauh dan untuk menyebut “para pemeluk agama yang ateis kepada semua orang yang mencari hal yang primer dalam agama padahal yang ada hanyalah hal yang sekunder. Pernyataan ini dilatabelakangi suatu kajian yang memaparkan bagaimana seorang yang ia sebut Tuan X, industrialis yang kaya dan menjadi anggota populer dari “drives” (kelompok orang yang senang berekreasi, Pen.), sekaligus memimpin organisasi-organisasi jemaat dan dengan sangat saleh meningkatkan persekutuan, tentulah timbul kesimpulan bahwa ia bukanlah seorang munafik. Namun, dalam keadaan biasa, misalnya dalam jamuan makan siang dagang, orang terpaksa menyimpulkan Tuan X terhadap masalah-masalah kematian, peperangan, revolusi, kolonialisme, adalah benar-benar sama dengan sikap koleganya-koleganya yang ateis dan agnostis ( Ignace Lepp, Psycheanalyse de l’atheisme moderne (Terjemahkan: Ateisme Dewasa Ini, 1985, 188-189)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar