a. Kebutuhan Fisiologi
Pengertian kebutuhan fisiologi dapat dipahami sebagai bentuk kebutuhan yang berkait erat dengan kepentingan-kepentingan fisik atau jasmani manusia, seperti makan, minum, sandang dan papan. Namun, pemisahan tentang elemen kebutuhan manusia ini dari kebutuhan-kebutuhan yang lain, seperti kebutuhan psikis dan kebutuhan sosial, bukan dimaksudkan untuk melakukan fragmentasi atas sosok pribadi manusia sebagaimana ditakutkan oleh filosof Carl Jaspers yang dalam ceramahnya berjudul Wahrheit und Wissenschaft, yang mengatakan pendekatan para sosiolog, politisi, biolog, antropolog, maupun ekonom yang mendekati masalah manusia dari masing-masing disiplinnya sebagai titik tolak, menimbulkan bahaya fragmentasi. Manusia telah “dipreteli” menjadi salah suatu bagian dari padanya. Suatu reduksi kepada suatu elemen yang faktis belaka (Op. cit, 2).
Yang dimaksudkan dengan upaya-upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik tersebut dalam konteks bahasan ini tetap tidak dapat dilepaskan dengan kebutuhan-kebutuhan psikis maupun kebutuhan sosial. Pembagian elemen kebutuhan manusia dalam topik kajian ini ditujukan untuk memudahkan uraian/pemahaman mengenai masing-masing kebutuhan manusia tersebut, sehingga dapat diperoleh pengertian yang lebih radikal dan kritis. Sebagaimana diketahui dari berbagai kajian antropologi, pada mulanya ketika manusia masih berada pada zaman primitif, tingkat pemenuhan kebutuhan fisik manusia sangatlah sederhana. Kebutuhan hidup mereka telah dapat dinyatakan terpenuhi, bilamana secara faktual sudah tersedia makanan, sandang, dan papan, meskipun dalam wujud sangat sederhana dan pas-pasan.
Pemenuhan kebutuhan fisik masyarakat primitif semacam itu sudah pasti tidak sama dengan konsep pemenuhan kebutuhan hidup untuk masyarakat modern seperti saat ini. Untuk sekadar memenuhi kebutuhan makanan saja, orang-orang “zaman kini” membutuhkan sajian dan kemasan yang khusus dan mampu mengangkat derajat kedudukannya dihadapan orang lain. Itulah sebabnya pada saat ini hanya untuk sebuah produk makanan saja memiliki hak paten dan merk tersendiri, sehingga bilamana ada orang lain ingin menjual makanan dengan produk yang sama diwajibkan memiliki izin. Sebagaimana Adam Smith dengan doktrin Asumsi Rasional Ekonomi, mengatakan bahwa manusia itu bersifat rasional-ekonomis yang berfalsafah hedonistik. Menurutnya, orang bertindak untuk kesenangan diri mereka sendiri semaksimal mungkin (Edgar H. Schein, Psikologi Organisasi, Terjemahan, 1983, 62).
Bertolak dari pendapat yang demikian itu, ternyatalah bahwa manusia sebenarnya bersifat egoistis. Pekerjaan apa pun yang dilakukannya senantiasa bermuara kepada pemenuhan bagi kepentingannya sendiri. Untuk mendapatkan “pekerjaan” yang benar dan cocok bagi upaya-upaya pemenuhan kebutuhan itulah, manusia memerlukan keahlian-keahlian dan keterampilan tertentu. Tidak sekadar trampil dalam pekerjaan, tetapi dituntut pula memiliki kemampuan diri yang optimal dan lengkap. Dengan kata lain, selain wajib mampu mengadaptasi dengan lingkungan pekerjaannya, seorang pekerja harus dapat memotivasi diri untuk menjadi leader dalam mengembangkan sekaligus mengaktualisasikan dirinya.
Pemikiran semacam ini berkebalikan dengan pendapat Karl Marx yang mengulas tentang filosofi pekerjaan sebagai berikut, bahwa pekerjaan itu mengasingkan manusia karena bersifat upahan. Pekerjaan upahan itu pekerjaan di mana saya tidak pertama-tama bekerja karena saya tertarik pada pekerjaan itu dan ingin menjalankannya, melainkan karena saya memerlukan upah. Mengapa ia mencari upah? Kita semua tahu: upah itu adalah syarat untuk dapat membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Orang tidak mencari upah karena iseng-iseng saja, melainkan karena tanpa upah atau gaji ia secara harafiah akan mati kelaparan. Pekerjaan upahan itu bukan pemuasan suatu kebutuhan, melainkan hanyalah alat untuk memuaskan kebutuhan di luar pekerjaan itu (Op. cit. hal. 87). Barangkali, tersebab kesadaran semacam itulah yang banyak mendorong orang berebut jabatan dan pekerjaan rangkap, sekadar demi memenuhi tuntutan-tuntutan kebutuhan hidupnya.
b. Kebutuhan Psikologi
Seperti telah disinggung sebelumnya, antara kebutuhan fisik dan kebutuhan psikis itu memiliki keterkaitan erat. Apalagi dalam sistem masyarakat modern seperti saat ini. Dengan demikian secara hakekat dapatlah dinyatakan bahwasanya tindakan manusia dalam konteks memenuhi kebutuhan fisiknya itu sekaligus juga melengkapi kebutuhan psikisnya. Contohnya, ketika seseorang membeli makanan di cafe Mc. Donals, atau di KFC, sudah tentu yang dibeli tidak terbatas pada jenis makanannya, tetapi sekaligus membeli merknya. Ada rasa gengsi yang dibeli, sekadar untuk mengangkat derajat prestisenya dihadapan orang lain. Dalam format masyarakat modern definisi kehidupan tidak dapat lagi dipahami secara sepotong-potong.
Ada pernyataan menarik tentang sifat manusia yang dicuplik dari Al Quran, bahwasanya dijadikan indah (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak (untuk dibangga-banggakan, Pen), harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan (sebagai tunggangan/kendaraan, Pen), binatang ternak, serta sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Padahal disisi Allah tempat kembali yang baik (Al-qur’an Karim, Departemen Agama R.I., 1989, 77.) Nasihat tersebut seolah memberikan penegasan bahwa manusia itu pada dasarnya dipenuhi dengan keinginan-keinginan yang sama sekali berbeda dengan binatang. Insting atau naluri binatang dengan umwelt-nya bergerak dan bertindak sesuai dengan induk kodrati semesta kebinatangannya, sedangkan manusia tidak memiliki umwelt.
Perilaku manusia yang semacam itu tampaknya sesuai benar dengan ajaran yang menobatkan manusia sebagai sentral utama dalam sistem kehidupan ini. Fenomena seperti itu telah menempatkan sosok manusia sebagai individu, dengan tingkat kesadaran yang tinggi atas nilai individualitasnya semata. Satu-satunya Tuhan bagi manusia seperti ini adalah dirinya sendiri: Homo Homini Deus!. Dan, itulah ajaran ateis. (Bersambung)
Karena sifat ajarannya sangat memuja eksistensi individu, moral dasar ajaran ateis ini selalu mengatakan, keberdayaannya terhadap segala sesuatu selalu diukur dengan penilaian unggul dan hina. Promoteus, pemikir Yunani yang dianggap sebagai penjuru kaum ateis ini ketika dirantai oleh penguasa saat itu karena keyakinannya mengatakan: “Aku jauh lebih senang terikat pada batu karang ini, daripada menjadi hamba yang patuh Dewa Zeus sang bapa”.
Menurut ajaran ini, moralitas dapat dibenarnya hanya bila mendukung keunggulan dan mengangkat derajat manusia sebagai manusia unggul, karena moral etis sudah tidak berlaku (Nietzsche, Antichrist 1888) dalam M. Sastrapratedja (Editor), Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat, 1983.
Dengan demikian di dalam hal pemenuhan kebutuhan psikis manusia, ternyatalah bahwa perihal itu tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan dorongan-dorongan egonya. Bisa saja terjadi, seseorang tidak mau makan atau tidak jadi pergi, hanya gara-gara menu makanannya atau kendaraan yang akan mengangkutnya dianggap tidak representatif bagi dirinya. Manusia seperti itu beranggapan bahwa untuk orang sekelas dia, maka baik menu makanan maupun jenis kendaraan haruslah memenuhi kriteria tertentu. Tidak sembarangan. Itu semua dilakukannya agar posisi status sosial dan kedudukannya di tengah kehidupan masyarakat sosialnya tidak jatuh. Tetap bergengsi. Pikiran dan sikap manusiawi! (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar