Membicarakan yang namanya sosok manusia memang terasa unik. Berbagai literatur yang membahas manusia baik dari sisi psikologi maupun dari sudut filsafat, terus berkembang yang seakan tidak akan pernah usai. Manusia yang secara sederhana dapat dinyatakan hanya terdiri dari 2 (dua) unsur, yakni rohani (jiwa) dan raga (fisik/jasmani) itu ternyata menyimpan kemisteriusan. Bagaimana tidak, dalam wujud yang sama, yang disebut manusia itu ternyata kiprahnya dalam tatanan kehidupan mampu mengekspresikan dirinya masing-masing dengan keistimewaan yang berbeda pula. Ada manusia sukses dan ada manusia yang tidak sukses.
Tentang definisi manusia sukses itu sendiri, tampaknya juga masih perlu diperdebatkan. Apakah dapat disebut sebagai manusia sukses, bilamana seseorang itu telah memiliki kekayaan, jabatan, dan popularitas, meski kehidupan sehari-harinya selalu diliputi kesempitan hidup. Bahkan untuk menenangkan pikirannya itu, manusia yang bersangkutan terkungkung dengan kehidupan yang bebas tanpa moralitas, seperti seks bebas, pengguna narkoba, dugem (dunia gemerlap) setiap hari, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Ataukah, yang disebut sebagai manusia sukses adalah, jika seseorang itu tidak memiliki kekayaan melimpah, tidak memiliki jabatan, bahkan tidak populer, namun kehidupan sehari-harinya dipenuhi dengan ketenangan hidup, kebahagiaan, serta kehidupan yang senantiasa mempertimbangan nilai-nilai moralitas.
Memahami manusia itu memang tidak mudah. Di kalangan psikiater maupun filosof pun bahkan secara pesimistis mengatakan, semakin mendalam seseorang mempelajari tentang sosok yang disebut manusia itu, maka semakin banyak pertanyaan yang timbul dan tak terjawab. Mencermati soal manusia rasanya seperti berjalan mundur, karena manusia sebagai obyek fokus kajian semakin sulit dipahami. Hal itulah yang mendorong Descartes, yang dijuluki bapak filsafat modern, menempatkan “aku” sebagai pusat dan fundamen dasar bagi setiap refleksi filosofis untuk mendapatkan kesadaran diri (self consciousness).
Dengan ide dasar yang bermaksud mencari kebenaran, filosof asal Perancis ini menyatakan, agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat didasarkan atas kepastian yang sama sekali memuaskan, yakni kebenaran yang pasti sehingga tidak mungkin untuk disangkali adalah dengan menggunakan “penyangsian metodis”. Yang dimaksudkan dengan “penyangsian metodis” itu sendiri, kata Descartes, adalah suatu bentuk penyangsian yang harus dilakukan seradikal mungkin yang bermaksud mempertanyakan tentang kebenaran-kebenaran yang dianggap ada.
Dengan rumus itulah filosof ini menegaskan filsafat subyektivitasnya dengan mengatakan: Cogito ergo sum, artinya saya sadar akan diri saya, jadi saya ada. Adanya “saya” tidak merupakan kebenaran yang diturunkan dari kebenaran lain. Dalam penyangsian yang saya lakukan, adanya “saya” diberikan secara langsung. Inilah kepastian yang paling fundamental dan oleh karenanya harus dijadikan dasar dan titik pangkal bagi filsafat dan seluruh ilmu pengetahuan (Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens-1979, 17)
1. Manusia Sebagai Pribadi
Pada dasarnya manusia sebagai pribadi itu dalam eksistensinya di dunia ini berdiri sendiri. Manusia sebagai individu selalu memiliki mission sacre (misi suci) untuk direfleksikan ke dalam realitas kehidupannya sesuai dengan tingkat usia, ilmu pengetahuan, dan pengalaman hidup yang dimiliki serta dikuasainya. Lingkaran semacam ini dapat dinyatakan sebagai “jagat ageng” atau alam besar kesemestaan yang mengusai alam pikir dan akal manusia. Kemudian terdapat pula pengetahuan atau kepahaman, kemampuan diri, dan sikap perilaku sebagai perwujudan dari watak yang dimilikinya. Yang terakhir ini dapat disebut sebagai “jagat alit” atau alam kecil kesemestaan yang tugasnya mengemas keinginan-keinginan diri manusia menjadi sesuatu yang nyata.
Tentang watak ini, menurut DR. Stephen R. Covey, dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People, pada dasarnya terdiri dari sejumlah kebiasaan-kebiasaan (Stephen R. Covey, The Seven Habits, Covey Leadership Center, 1994)
Bertolak dari argumentasi di atas, tentunya menjadi tidak relevan lagi bila di antara manusia terjadi perseteruan, perkelahian, maupun pertentangan-pertentangan yang lain. Mengapa? Sebab segala bentuk saling-silang semacam itu dapat terjadi hanyalah dilatarbelakangi perbedaan tingkat penguasaan “jagat ageng” maupun “jagat alit” sebagaimana dituturkan di atas. Bila bisa memahami keadaan seperti itu, lalu mengapa ada orang yang memarahi kita, mengapa orang itu bertindak negatif terhadap kita, dan lain sebagainya yang bersifat pertentangan. Sudah tentu akal pikir kita akan mengatakan, sikap dan tindakan orang itu adalah manusiawi dan wajar. Karena di antara kita dan orang yang bersangkutan dapat saja terjadi perbedaan tingkat penguasaan alam besar kesemestaan dan alam kecil kesemestaan.
Dari titik inilah kita mulai belajar berpikir, untuk dapat berpikir dan bersikap manusiawi. Sebagaimana orang lain, diri kita pun memiliki misi pribadi-misi pribadi yang selalu bertumbuh dan berkembang setiap masa tertentu, bahkan setiap detik. Dan mengacu pada pemikiran dari kalangan kaum filosof, dikatakan bahwa manusia itu selalu dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya atau nafsunya sebagai sosok manusia. Nyaris dapat dinyatakan, bahwasanya tidak ada satu pun tindakan atau perilaku manusia yang bermuatan pikiran-pikiran murni untuk berpikir dan bertindak demi kepentingan manusia lain semata. Kalau pun menurut penglihatan kita, ada seseorang seolah telah berpikir dan bertindak untuk kebutuhan dan kepentingan orang lain, namun bila dicermati secara seksama ujung-ujung tindakannya itu ternyata demi kepentingan dirinya pula.
Bila demikian keadaannya, apakah masih ada perilaku atau tindakan seseorang yang didasari rasa ikhlas. Mengutip pendapat Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang populer berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin, disebutkan bahwa ikhlas (kebersihan) itu berlawanan dengan isyrak (persekutuan). Maka siapa yang tiada ikhlas, dia itu menyekutukan. Ikhlas dan lawannya itu datang-mendatangi kepada hati, yang berangkat dari maksud dan niat. Manakala penggerak (untuk bertindak atau berbuat sesuatu, Pen.) itu hanya satu semata-mata, niscaya dinamakan perbuatan yang terbit daripadanya tersebut ikhlas (Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Terjemahan, 1982, 55). Bila kita sepakat dengan pengertian terakhir ini, sudah tentu kita sepakat pula untuk menyatakan bahwasanya tindakan ikhlas adalah perbuatan hati yang tidak akan tampak oleh mata.
Namun, terlepas dari soal penilaian apakah tindakan seseorang tersebut didasari rasa ikhlas atau tidak ikhlas, yang pasti perbuatan itu dilakukan demi memenuhi kebutuhannya sebagai mahluk hidup. Kebutuhan-kebutuhan manusia sebagai mahluk hidup ternyata tidak terbatas pada kebutuhan fisik semata, tapi juga terdapat kebutuhan psikis dan sosial. Karenanya kebutuhan hidup manusia itu amat beragam. Bahkan nyaris dapat dikatakan tidak terbatas, hingga manusia dikuburkan. Dengan kata lain, selama sosok individu yang dinamakan manusia tersebut masih hidup, maka akan terus bermunculan dibenaknya kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan hidupnya.
Manusia sebagai sosok mahluk hidup yang diciptakan Tuhan, dalam dirinya memang telah dilengkapi dengan akal-pikir, hati (qalbun), dan nafsu. Dengan akal pikirnya, manusia dapat mengfungsikan otak kanannya yang bersifat intuitif-holistik untuk berfikir tentang keindahan, dan dengan otak kirinya yang bersifat logik-aritmatik manusia dapat berfikir mengenai logika-logika dan statistika. Melalui hatinya, manusia dapat mempertimbangkan apa yang dipikirkannya berkaitan dengan nilai-nilai normatif kemasyarakatan. Baik berkaitan dengan norma agama, norma hukum, maupun norma sopan-santun dalam tatanan kehidupan sosial. Sedangkan dengan nafsunya manusia dapat “bergerak”, untuk mengfungsikan akal pikirnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya.
Sebagaimana tertulis dalam kitab suci-kitab suci, manusia itu diciptakan untuk menjadi khalifah dengan kedudukannya sebagai centre of idea (pusat pikiran) dalam sistem kendali alam semesta. Sebab itu setiap sosok individu yang disebut manusia wajib hukumnya untuk selalu mencari dan memiliki ilmu agar mampu membaca, memahami, dan mengerti tentang hakekat dari keberadaannya sendiri. Dengan demikian manusia yang berilmu, yang memahami tentang peran dan kedudukannya sebagai khalifah, akan menempatkan dirinya sebagai subyek dalam posisi diametral dengan Tuhannya, yakni antara hamba dan Penciptanya.
Sebaliknya, manusia yang terbelenggu oleh ego-sentrisnya secara membabi buta, maka tanpa disadarinya dapat saja mendorong sosok manusia yang seperti itu tergelincir bahkan terbawa arus tipuan-tipuan serta kemasan modernitas, sehingga kedudukannya telah menjadi obyek dalam sistem kealamsemestaan. Bila eksistensi manusia telah berada pada posisi yang terakhir ini, maka individu atau mahluk hidup yang semacam itu tidak dapat lagi dinyatakan sebagai manusia. Padahal Dr. Kees Bertens dalam sebuah tulisannya berjudul “Masalah “Dunia” Dalam Filsafat Manusia” mengutip pendapat F. Buytendijk menyatakan hanya manusia yang mempunyai dunia. Binatang mempunyai umwelt, yakni dunia binatang yang khas untuk jenis binatang itu, seperti anak kunci dan kuncinya. (Op.cit, 34) – (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar