Sabtu, 05 Desember 2009

Ternyata Al Quran Bukan Mukjizat? (Bag. 2)

Rasulullah Muhammad SAW adalah lelaki sederhana dan rendah hati. Penyabar dengan karakter pergaulan yang lembut. Ia baik dengan siapa pun, anti diskriminasi. Puncak kehormatannya sebagai sosok manusia adalah kejujurannya, hingga digelari Al Amin. Karena kuatnya memegang nilai kejujuran, maka ia pun memiliki keteguhan hati bak karang di lautan. Tak lekang oleh panas, tak runtuh dihantam ombak. Sebab itulah Allah meletakkan amanah kerasulan di pundaknya. Penutup risalah para nabi yang membawa ajaran ketauhidan. Tidak kepada yang lain.

Ketika Aisyah ditanya tentang Rasulullah Muhammad SAW, ia katakan dialah Al Quran berjalan. Sikap dan perilaku sosialnya, tutur katanya, serta setiap keputusan-keputusannya merupakan aplikasi dari nilai-nilai Al Quran. Pada saat itu, kemukjizatan Al Quran sebagai firman Allah terkuak. Pada saat itu, keluarbiasaan Al Quran sebagai pedoman hidup manusia tertampakkan. Dan, pada saat itu, keunikan Al Quran sebagai ibu sekaligus sumber dari segala ilmu pengetahuan menyangkut kealamsemestaan, terbuktikan!

Kini, kemukjizatan, keluarbiasaan, dan keunikan Al Quran kian meredup. Pada akhirnya, Al Quran bukan lagi mukjizat. Masih banyak umat Islam yang tidak memahami kandungan isi Al Quran. Masih banyak umat Islam yang tidak mengerti, apa maksud dan tujuan Allah mengemukakan risalahnya itu kepada umat manusia. Masih banyak umat Islam yang memandang Al Quran sebagai sesuatu yang amat sangat keramat, hingga “meletakkan” kitab suci itu di luar dari maksud dan tujuan Allah. Kalau pun ada yang melakukan kajian-kajian (tadabur) terhadap isi Al Quran, maka hal itu hanya dilakukan oleh kaum elite tertentu.

Di sisi lain, filosof Aristoteles pernah mengklasifikasikan manusia dengan sebutan zoon politicon. Kata lain dari pernyataan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Mahkluk yang tidak mungkin hidup sendiri. Itu artinya, manusia membutuhkan mahkluk lain –baik dalam wujud mahkluk hidup maupun makhluk lain, seperti alam lingkungan– untuk mempertahankan kehidupannya. Berdasarkan pemikiran itu tentunya kita memahami, dalam pergaulan sosialnya, manusia membutuhkan seperangkat aturan. Aturan bertingkah laku, baik antar-manusia, manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun manusia dengan Pencipta alam semesta ini. Pada titik inilah Al Quran diciptakan!

Pada fase sebelum Al Quran ada, hubungan antar-manusia, manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun manusia dengan Pencipta alam semesta ini begitu jahiliyah. Tidak di Barat maupun di Timur manusia banyak melakukan kejahatan baik terhadap manusia sendiri, terhadap lingkungan hidup, terhadap alam semesta, apalagi terhadap Pencipta alam semesta ini. Ketiadaan pemberian penghargaan terhadap kehidupan itu pada gilirannya menciptakan kerusakan-kerusakan di muka bumi ini. Seolah tidak ada lagi tempat yang aman dan menyenangkan bagi umat manusia. Kalau ada kebahagiaan dan kesenangan, hal itu hanya dimiliki dan dikuasai kalangan masyarakat tertentu. Kalangan penguasa. Banyak diskriminasi.

Meski sudah ada agama-agama terdahulu, yang juga dibawa oleh para nabi-nabi, namun nilai-nilai ketauhidan yang diajarkan banyak yang diselewengkan. Dimanfaatkan untuk kepentingan individu maupun kelompok tertentu guna memperoleh kenikmatan hedonistik. Para pemuka agama memanfaatkan ajaran agama sebagai alasan pembenar untuk melakukan penindasan terhadap manusia lain melalui pengaruh-pengaruhnya terhadap sistem kekuasaan. Maka, maksud dan tujuan diturunkannya ajaran agama kepada manusia sebagai khalifatullah fil ardh menjadi tak memenuhi target. Kerusakan terus terjadi.

Saat ini, setelah Al Quran diturunkan, tapi masih juga terjadi kerusakan. Nilai-nilai ketauhidan juga semakin luntur. Apakah Al Quran telah gagal? (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar