Sabtu, 05 Desember 2009

Sikap Reaktivitas dan Wujud Perilaku

Dalam dunia psikologi dikenal dengan apa yang disebut karakterologi, yaitu cabang dari ilmu jiwa yang melakukan hipotesis-hipotesis ilmiah dengan tujuan menemukan jawaban mengenai struktur dan kualifikasi karakter. Ini berbeda dengan maksud pengertian temperamental seseorang, yang menurut kalangan psikolog, dinyatakan sebagai aspek bawaan orang per orang yang umumnya berkaitan dengan konstitusional tubuh. B. Simandjuntak dan I.L. Pasaribu, dalam bukunya berjudul Psikologi Perkembangan, menyatakan kelenjar-kelenjar tertentu dalam tubuh berpengaruh terhadap temperamen seseorang, meski tidaklah tepat melokalisasi temperamen pada suatu kelenjar tertentu (B. Simandjuntak dan I.L. Pasaribu , 1979)

Namun, terlepas dari masalah apakah sikap reaktivitas sebagai wujud karakteristik seseorang ataukah merupakan temperamental seseorang, yang pasti bahwa sikap semacam itu ada. Bisa saja terjadi dan dapat dikatakan bahwasanya sikap reaktivitas itu merupakan hasil pekerjaan lingkungan sosial yang menstimulasi aspek bawaan seseorang. Pretensi semacam ini bukanlah sekadar pernyataan yang tidak memiliki alasan ilmiah. Sebab menurut berbagai literatur bidang psikologi yang mengupas tentang perkembangan ilmu kejiwaan, seolah sudah ada kesepakatan pendapat bahwa sikap-sikap seseorang dalam merespon suatu keadaan di luar dirinya sangat bergantung kepada kedudukan manusia itu sendiri dalam eksistensinya sebagai individu.

Eksistensi manusia sebagai individu, menurut pandangan Schumacher, berada pada tingkat kesempurnaannya bilamana memenuhi empat tingkat eksistensi, yang diterangkan dengan rumus:
Manusia = P + X + Y + Z
= pelikan (mineral, Pen.) + hidup + kesadaran + penyadaran diri.

Bila kita sepakat dengan pernyataan pendapat di atas, berarti ada persamaan pandang bahwa dalam dinamikanya sebagai makhluk yang disebut manusia, seseorang akan bertindak serta bersikap menurut ukuran dan kadar ilmu yang dimilikinya. Semakin rendah ilmu seseorang, maka tingkat kesadaran dan penyadaran dirinya tentu semakin rendah. Demikian pula pola sikapnya dalam mereaksi segala sesuatu yang menimpa dirinya. Dan sebaliknya, semakin tinggi ilmu seseorang, maka orang tersebut akan merespon apa pun yang terjadi pada dirinya dengan tingkat kesadaran dan penyadaran diri yang sesuai dengan tingkatan ilmu yang dipahaminya. Sedangkan kemampuan penyerapan ilmu setiap masing-masing orang berbeda sebab hal itu sesuai dengan maqom-nya, menurut pendapat penganut Hindu mungkin sesuai dengan kastanya, atau sesuai dengan welt-nya menurut istilah F. Buytendijk.

Sebab itu pulalah menjadi wajar dan manusiawi bilamana seseorang meskipun sudah bergelar sebagai pejabat tinggi, direktur, profesor, rohaniwan, pendeta, romo pastur, kyai, ustadz, dan berbagai macam status sosial lainnya, tetap dapat terjebak dalam tindakan atau sikap-sikap diluar tatanan nilai atau norma yang berlaku. Adalah hal yang mungkin saja terjadi, dibalik penampilan sosialnya seseorang ternyata menyembunyikan perilaku yang tidak setara dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya. Keadaan yang seperti itu membuktikan bahwa manusia tersebut baru sekadar mempelajari ilmu pengetahuan, sehingga belumlah memberikan jaminan bahwasanya ia memiliki kesadaran dan penyadaran diri yang sesuai dengan ilmunya itu sendiri. Karena itulah mengapa kita tidak wajib heran bila dalam kehidupan nyata sering terjadi peristiwa-peristiwa, seperti guru mengaji menghamili santrinya, romo pastur bergaul bebas dengan suster-suster, pejabat tinggi melakukan KKN, dan lain sebagainya.

Kesemuanya itu adalah reaksi-reaksi yang jika dicermati secara utuh merupakan reaktivitas tindakan akibat kuatnya pengaruh-pengaruh sosial yang menyelimuti dinamika kehidupan sosial dari sosok manusia. Konklusi demikian ini ditarik dari kenyataan-kenyataan yang secara tegas menunjukkan, munculnya sikap-sikap reaksioner yang konstan itu terlahir tanpa melalui proses kesadaran dan penyadaran diri yang seharusnya dilakukan terlebih dulu, sesuai dengan tingkat keilmuannya. Ini berarti, tinggi atau rendahnya nilai seseorang tidak dapat diukur secara dlohiriyyah, seperti kita melihat seseorang dari status sosialnya belaka tanpa mempertimbangan adanya kenyataan-kenyataan perilaku sosialnya sehari-hari. Perilaku tokenistik semacam ini dalam sistem kehidupan masyarakat modern tampaknya sudah menjadi gejala sosial, kalau tidak dinyatakan sebagai sebuah epidemik patologi sosial.

Menurut Schumacher, nilai-nilai tertinggi seorang manusia tercapai apabila ia menyatakan, bahwa sesuatu merupakan kebajikan di dalam dirinya sendiri dan tidak memerlukan pembenaran di dalam ukuran kebajikan yang lebih tinggi. Mengamati dan mendengarkan dengan baik juga perlu. Soalnya ialah bahwa pengamatan dan pendengaran yang sempurna sekalipun tak akan sampai ke mana-mana kalau data yang diperoleh dengan cara demikian tak ditafsirkan dan dipahami dengan tepat, dan prasyarat kemampuan saya untuk memahami dengan tepat merupakan pengetahuan diri saya sendiri, penghayatan batin saya sendiri. Dengan kata lain, harus ada adaequatio (kecukupan, Pen.), soal demi soal, sedikit demi sedikit.

Adalah menarik mengutip nasihat berjudul: Anjing, Tongkat dan Sufi berikut ini. Seorang laki-laki yang berpakaian a la Sufi ketika suatu hari sedang berjalan-jalan, melihat seekor anjing yang pernah dipukulnya dengan keras memakai tongkatnya. Anjing itu menyalak kepadanya dan berlari menuju ke seorang bijaksana bernama Abu Said. Anjing itu menyembunyikan diri di kedua kaki Abu Said sambil mengangkat kakinya yang luka. Ia mengadu dan meminta keadilan terhadap Sufi yang telah menganiaya dirinya begitu kejam. Abu Said yang bijaksana lalu memanggil Sufi itu dan berkata: “Hai orang yang tidak punyai kepedulian! Bagaimana mungkin dapat menganiaya seekor anjing yang bodoh. Lihatlah apa yang telah engkau lakukan!”.

Sufi itu menjawab: “Itu bukan kesalahan saya, melainkan kesalahan anjing itu sendiri yang salah. Saya tak memukulnya karena semata-mata tingkah lakunya, tapi karena alasan ia telah mengotori jubah saya”. Tetapi anjing itu masih juga belum merasa puas atas jawaban Sufi itu.

Kemudian Sufi itu berkata: “Daripada menunggu Pembalasan Akhir, izinkan saya untuk memberikan kompensasi atas sakit yang kamu rasakan itu”.

Anjing itu menjawab: “Tuan sungguh bijaksana dan mulia! Ketika dulu saya melihat tuan dengan pakaian seperti seorang sufi, saya dapat menyimpulkan bahwa tuan takkan menganiaya saya. Jika saya melihat seseorang mengenakan pakaian biasa, secara alamiah akan saya berikan tempat kepadanya yang lapang. Kesalahan saya yang nyata adalah mengasumsikan bahwa penampilan luar seseorang itu membuktikan tentang keselamatan. Jika engkau ingin menghukum, menjauhlah dari pakaian “orang-orang pilihan”. Hilangkan darimu pakaian “orang-orang yang bajik”. Anjing itu sendiri mempunyai kedudukan yang tinggi. Adalah salah jika mempercayai bahwa seseorang pasti lebih baik daripadanya (Jurnal Ulumul Qur’an, 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar