Sabtu, 05 Desember 2009

Proaktivitas sebagai Sikap Pengembangan Diri

Berkebalikan dengan sikap reaktivitas, seperti telah dipaparkan terdahulu dikenal pula apa yang disebut sikap proaktivitas. Secara mekanik proses sikap semacam ini relatif memiliki pertimbangan-pertimbangan rasional yang menghormati kebebasan akal pikir seseorang, sebelum akhirnya ia menjatuhkan sebuah keputusan. Sebab itulah sikap ini sulit untuk dinyatakan sebagai bentuk karakter bawaan seseorang. Karena keputusan yang akan dijatuhkan “wajib” terlebih dulu melewati alur pemahaman-pemahaman yang bersifat keilmuan serta dilandasi kesadaran dan penyadaran diri. Perilaku proaktivitas merupakan sikap yang terlahir dari sebuah proses pengembangan diri yang dilakukan seseorang secara sengaja.

Berfikir proaktivitas, sebelum seseorang melakukan tindakan untuk merespon sesuatu yang menimpa dirinya, bukanlah suatu tujuan dalam bersikap. Sikap demikian itu adalah sebentuk langkah-langkah yang telah dipersepsikan demi pencapaian tujuan-tujuan lain, yakni kesuksesan. Namun demikian, bukanlah berarti sikap proaktivitas merupakan tindakan pura-pura. Keyakinan seperti ini bersifat keharusan, yakni adanya kesadaran tentang landasan rasa keikhlasan, kejujuran, seperti apa adanya ketika sikap tersebut hendak dilahirkan. Dengan tidak adanya maksud tersembunyi atau kepura-puraan sikap, sudah tentu akan membuang segala bentuk beban yang harus dipikul oleh benak dan perasaan kita. Karena atas keputusan yang akan kita ambil tersebut sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan secara cermat dan matang. Maka, dalam keputusan semacam ini tidaklah dapat dipersamakan dengan suatu pertaruhan (gambling)!

Sebagai bentuk etika watak, sikap proaktivitas memang tidak dapat muncul dengan sendirinya pada diri seseorang. Sikap ini ditumbuhkan dari perilaku-perilaku batiniyah sehari-hari yang kemudian dilahirkan dalam wujud-wujud tindakan nyata secara terus-menerus, sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dengan singkat kata dapat dinyatakan, karena terbiasa melakukan sikap proaktivitas, maka seseorang itu memiliki sikap perilaku di bawah alam sadarnya untuk senantiasa bersikap dan bertindak proaktivitas. Maka itulah yang disebut dengan etika watak proaktivitas. Dengan memiliki watak proaktivitas yang sudah terakumulasi dengan perilaku alam bawah sadarnya, akan menunjukkan manusia yang demikian itu bakal menuai eksistensi kemanusiaannya secara utuh. Benar-benar sebagai subyek yang disebut manusia.

Dengan memiliki watak yang proaktivitas seseorang jelas mempunyai kemandirian diri yang sempurna. Baginya bertindak hitam atau putih adalah benar-benar pilihan dan keputusannya sendiri. Ibaratnya, dunia telah berada di dalam genggamannya, untuk diperlakukan menurut kepentingan-kepentingan nafsu syahwatnya, ataukah demi mendapatkan kebajikan-kebajikan ukhrowiyah. Pilihan dari kedua alternatif tersebut sangat bergantung pada tujuan dan maksud-maksud yang dipilih oleh sosok manusia yang bersangkutan dalam menyikapi kelahirannya di dunia ini. Alam mayapada ini diselimuti kekuatan-kekuatan tersem-bunyi yang transenden, yakni kemisteriusan dimensi kebaikan dan dimensi kejahatan. Kedua kemisteriusan itu saling berebut untuk mempengaruhi alam kesemestaan ke dalam pikiran-pikiran manusia, yang dalam wujudnya melahirkan pikiran positif (positive thingking) dan pikiran negatif (negative thingking).

Baik pikiran positif maupun pikiran negatif yang ada pada alam pikir manusia bakal terlahirkan dalam perbuatan-perbuatan. Sekali seorang manusia mengawali tindakannya dengan pendekatan pikiran positif, dapat diharapkan pada kelanjutan tindakannya itu akan dibimbing dengan pikiran-pikiran yang positif pula. Demikian juga sebaliknya, bilamana seseorang manusia memulai perbuatannya dengan pendekatan pikiran negatif, nyaris dapat dipastikan pada rentetan perbuatan berikutnya akan senantiasa diikuti dengan pikiran-pikiran yang negatif. Perhatikan, seseorang yang hatinya berbunga-bunga karena lulus kuliahnya, maka hampir setiap orang yang ditemuinya ditebari seulas senyum. Dan semua orang tentu akan membalasnya dengan senyuman. Namun perhatikan, seseorang yang mendendam kebencian dengan orang lain, tentu akan memasang muka yang bersungut-sungut. Kalau pun ia paksakan untuk tersenyum, maka senyumannya itu terlihat sebagai senyum kecut.

Dr. Astrid S. Susanto dalam sebuah bukunya menyatakan, bahwa ternyata 75% dari keputusan manusia dilandasi oleh emosi. Persuasi biasanya mengadakan pendekatan dengan appeal (permohonan pertimbangan, Pen.) terhadap perasaan atau emosi. Karena itulah dikatakan, sebagai appeal pertama, pendekatan terhadap penggunaan emosi komunikasi ternyata adalah yang paling efektif. Setelah appeal terhadap emosi telah berhasil, maka appeal terhadap ratio harus dipergunakan untuk memperkuat pengaruh. Dengan demikian ternyata bahwa dalam persuasi perlu diadakan penggunaan kombinasi dari pendekatan dengan teknik appeal terhadap emosi, disusul dengan appeal terhadap ratio (Astrid S. Susanto, 1977)

Dengan kenyataan sebagaimana dipaparkan di atas, bila seseorang telah memiliki etika watak proaktivitas tentunya diharapkan kepadanya itu memiliki juga pikiran-pikiran positif. Berangkat menyusuri kehidupan ini dengan sikap proaktivitas-positif, dapat diyakini bakal menyebabkan dunia ini tak memiliki alasan untuk berbuat jahat kepada manusia. Sebab rupa manusia yang demikian itu telah menjadi indah.

Resapilah nasihat menarik dari Plotinus yang dikutip Schumacher berikut ini: “Menyendirilah dan lihat. Dan jika kau temui dirimu belum lagi elok, bertindaklah bagaikan pencipta sebuah patung yang akan diperindah. Ia memangkas di sini dan menarah di sana, memperingan garis ini dan memurnikan garis lain lagi, hingga sebuah wajah yang molek tampil atas karyanya. Lakukanlah pula seperti itu:......janganlah sekali-kali berhenti memahat patungmu..............

Ibarat sebuah doa, maksud dan tujuan manusia dalam kehidupan ini dipenuhi dengan pengharapan-pengharapan. Maka dari itu, doa ataupun mantra yang kita ucapkan haruslah dilandasi dengan pikiran-pikiran positif agar kekuatan-kekuatan adi-kodrati yang kita sebut sebagai Tuhan berkenan mengabulkan. Karena manusia sering tanpa sadar, seolah-olah ia berharap dengan doa-doa yang suci serta atas nama Tuhan, lalu menggunakan ayat-ayat Tuhan, ia mengutuki orang lain dengan harapan orang yang dikutukinya itu mendapatkan celaka. Orang yang demikian ini sesungguhnya telah tertipu, sebab ia tidak lagi berbeda dengan para penganut kejahatan yang menebarkan mantra-mantra hitam. Seharusnya, manusia dengan doa dan harapannya senantiasa berpikiran positif, berkata positif, dan berdoa positif untuk dirinya dan orang lain yang didoakannya. Yang demikian itu sudah sesuai dengan eksistensi Tuhan dengan etika watak proaktivitas-Nya yang positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar