Sabtu, 05 Desember 2009

Poligami: Semua Ada Ilmunya, Semua Ada Harganya (Habis)

Sebagai “Al Quran berjalan” Rasulullah hanya menyuarakan risalah Allah Swt. Ingat, ketika kepada Rasulullah ditanyakan mengapa pada ramadhan bershalat tarawih di rumah –setelah beberapa hari awal ramadhan bershalat tarawih di masjid–, jawab Rasulullah, dirinya takut umatnya menafsirkan tarawih adalah shalat wajib pada ramadhan.

Demikian pula dengan hukum poligami. Andai Rasulullah –misalkan jalan pikirannya disesuaikan dengan dalih para pengikut anti poligami saat ini, bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mendaku superior dengan nafsu menguasai perempuan, selain faktor biologis atau seksual– kemudian Nabi takut dianggap bertindak seperti itu dan memilih monogami. Maka, bersoraklah kaum kafir! Sebab pada saat yang bersamaan, sekalian para penentang Islam itu akan mengatakan, umat Islam tidak perlu mempercayai Al Quran.

Sebab isinya, tentang poligami, sangat merendahkan harkat dan martabat wanita. Terbukti banyak wanita yang sengsara dan terlantar akibat suami berpoligami. Musuh-musuh Islam memiliki hujjah yang cukup kuat untuk berdalil, lihat saja apa yang dilaksanakan nabimu. Nabimu menentang poligami dan memilih monogami. Al Quran dan As Sunnah pun saling bertentangan. Naudzubillahi min dzalik!

Tidak itu saja, akibat berikutnya, hukum berpoligami menjadi kabur. Al Quran membolehkan, sedangkan As Sunnah melarangnya. Sebab Nabi berpraktik monogami. Umat Islam terbelah. Satu sisi berpegang pada Al Quran, dan mereka pun menghalalkan poligami, sedang sisi yang lain melarang poligami karena berpedoman pada tindakan nabi yang bermonogami. Atas izin Allah Swt nabi tidak berkenan hal itu terjadi. Maka, apa yang dicontohkan nabi dalam berpoligami merupakan pelaksanaan risalah dari Allah Swt sesuai Al Quran. Tidak ada bertentangan antara Al Quran dengan As Sunnah. Kedua-duanya sumber hukum, dan khusus untuk masalah poligami, Islam menyatakan boleh hingga sampai empat isteri.

Tidak perlu dicari-cari alasan yang ruwet-ruwet dengan menyoroti berbagai hal diseputar rumah tangga Nabi dalam kehidupan berpoligami. Baik dari sisi politik, cinta kasih dan kecondongan hati, maupun mengenai makna adil itu sendiri. Seperti tinjauan-tinjauan ala Thaha Husein (1889-1950) dalam Fi Syi’r al-Jahili, yang menurut pengutipnya Badru Tamam Mifka misalnya, dengan berani mengambil hipotesis bahwa al-Quran pada dasarnya adalah cermin budaya masyarakat Arab Jahiliyah (pra-Islam).

Karena itu, masih kata Badru Tamam Mifka, seruan poligami dalam teks itu harus dipandang sebagai sebuah proses yang belum final dan masih terbuka bagi “pembacaan lain” sesuai dengan konteks sosial kontemporer. Jika hipotesis Husein dikembangkan, akan dijumpai pemahaman bahwa al-Quran sesungguhnya adalah respon terhadap berbagai persoalan umat kala itu. Sebagai respon, tentu saja al-Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu dipenuhi dominasi budaya patriarki (ideologi laki-laki). Pelarangan poligami yang absolut untuk konteks masyarakat kala itu amat tidak mudah.

Mengenai poligami dalam agama Islam, adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan dengan iman. Rasulullah, sebagai aktualisasi Al Quran yang hidup dalam dunia empirik, harus menjadi cerminan dari kitab suci itu sendiri. Poligami adalah salah satu ketentuan yang ada dan diatur dalam Al Quran. Maka, Nabi pun berpoligami. Hukum berpoligami pun menjadi terang, boleh. Dan, antara Al Quran dan As Sunnah bersesuaian. Tidak ada pertentangan di dalamnya. Tidak perlu dicari ada atau tidak adanya skenario politik maupun tata budaya, dan alasan-alasan lain. Sebagai pembawa risalah Rasulullah menjalankan perintah Allah Swt. Selesai.

Poligami = KDRT?
Nah, lalu bagaimana dengan data yang dipublikasikan Jurnal Perempuan [No. 31/2003] yang mengkatagorikan poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan. Sebab, berdasarkan salah satu data LBH APIK Jakarta (tahun 2003) terungkap bahwa poligami telah melahirkan dampak tertentu bagi isteri. Dampak buruk paling banyak yang dialami isteri adalah tidak lagi diberi nafkah (37 orang), isteri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), isteri mengalami tekanan psikis (21 orang), isteri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah ranjang (11), mendapat teror isteri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). Data itu diambil dari isteri yang melapor, belum terhitung isteri yang takut melapor atau isteri yang di-manut-kan menerima perlakuan diskriminatif.

Menanggapi publikasi yang demikian itu mudah. Baca data berikut. Aborsi terlambat –usia kandungan sudah lebih dari 3 bulan –yang terjadi di AS 120.000 per tahun atau sekitar 400 per hari, di Inggris 170.000 per tahun, dan di Canada 65.000 per tahun. Itu data resmi yang terjadi di negara-negara berkonsep monogami dengan kebebasan berzina, yang katanya sangat menghargai wanita. Belum terhitung pula berapa jumlah aborsi di negara-negara Barat lainnya, penganut faham yang sama. Data itu, juga belum menghitung data aborsi tidak terlambat. Termasuk data korban anak-anak terlantar dari hasil zina yang tidak jelas nasabnya, tersebar di benua Eropa hingga Amerika yang mengagungkan monogami serta di negara-negara lain melalui pengikutnya.

Ajaran poligami memiliki otentifikasi berdasarkan Al Quran, sehingga memiliki kebenaran mutlak. Ini berbeda dengan ajaran lain, misalnya ajaran Marxisme yang ditelorkan Karl Marx, sebagai hasil perenungan pikiran. Ajaran yang disebutkan terakhir ini memiliki kebenaran yang relatif, karena masih ada ruang untuk diperdebatkan kembali. Meminjam istilah Hegel, kata seorang Kompasianer, tak ada seorangpun yang bisa mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran sepenuhnya. Apapun yang dikatakan manusia sebagai “kebenaran” senantiasa tidak bersifat final. Tentunya termasuk semua pendapat yang menentang faham poligami.

Bilamana ajaran itu dipublikasikan, pelaksanaannya pun wajib bersesuaian dengan manual yang disertakan. Sebagai Al Quran yang hidup, Nabi Muhammad dapat diklasifikasikan sebagai manual dalam praktik melaksanakan nilai-nilai kandungan Al Quran. Sedangkan terhadap ajaran Karl Marx, sampai hari ini belum ada contoh empirik untuk dapat dinyatakan sebagai manual bagi keberhasilan ajaran Marxisme. Sebab itu, segala akibat yang timbul karena dampak seseorang menerapkan ajaran Marxisme, dapat ditimpakan kepada pencetus ajarannya.

Sedangkan akibat yang timbul karena dampak seseorang menerapkan ajaran poligami, tidak dapat ditimpakan kepada Al Quran sebagai induk ajarannya. Mengapa? Sebab ada pertanyaan yang wajib dilontarkan kepada pelakunya (baca: berpoligami), apakah sudah berpraktik sesuai manual-nya, yaitu Rasulullah? Yaitu, berpoligami yang tidak menempatkan kepentingan syahwat sebagai ujung niat? Lalu, apakah sudah sesuai bagaimana Nabi menempatkan seorang wanita dalam kehidupannya? Apakah juga sudah sesuai bagaimana nabi menghormati isteri-isterinya? Dan, apakah sudah sesuai pula bagaimana nabi menjalankan ibadahnya, baik ibadah mahdho maupun ghoiru mahdho dalam kehidupan sosialnya?

Dengan demikian jelaslah, baik dalam memilih faham monogami atau poligami, seorang suami wajib menghormati dan menjunjung harkat martabat istri, sebab istrinya itu adalah seorang ibu. Pembawa risalah, yang berarti memikul amanat dari Allah Swt melalui anak-anak yang dilahirkjannya. Kewajiban itu setara dengan kewajiban seorang suami, yang pada hakikatnya adalah seorang anak, dalam menghormati ibu kandungnya yang telah menjaga serta memeliharanya sejak dalam kandungan. Penghormatan itu menurut nasihat Rasulullah, tujuh puluh lima persen lebih besar daripada penghormatannya terhadap seorang ayah. Dan, ibu itu adalah seorang wanita, seperti istrinya. Sebab itu suami harus memberi teladan kepada anak-anaknya, bagaimana dirinya menghormati istrinya, yang seorang ibu.

Penulis meyakini, jika setiap laki-laki yang bermonogami atau berpoligami memiliki ilmu yang cukup, sebagaimana dicontohkan Rasulullah, yakni kesadaran yang benar sesuai bagaimana Al Quran menempatkan dan menghormati wanita, meeka tidak menentang konsep berpoligami. Berpoligami yang demikian itu adalah kemuliaan dalam pandangan Allah Swt. Dihadapan Allah setiap manusia bertakwa, laki-laki maupun wanita, mendapatkan kemuliaan yang sama. Dalam situasi rumah tangga yang demikian, suami akan selalu menyatakan ridho atas istri-istrinya, sebagaimana istri-istrinya ridho pula dengan perlakuan suami yang menghormatinya. Ganjarannya adalah sorga.

Akan tetapi, bila berpoligami dijalankan atas dasar niat dorongan libido seksual semata, sudah tentu berpoligami yang demikian itu nilainya rendah, bahkan suatu kehinaan bagi bersangkutan bila menimbulkan kemudlaratan. Dan, setiap kehinaan adalah dosa. Islam diturunkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Karena itu suami berpoligami yang menimbulkan kesengsaraan dan kehinaan terhadap wanita termasuk anak-anaknya, merupakan dosa besar. Harga yang harus dibayar adalah api neraka. Sama dengan harga yang harus dibayar oleh laki-laki bermonogami, tapi pekerjaannya berzina di sana-sini. Ia juga menjadi pembunuh terhadap anak-anak hasil zina melalui aborsi, atau yang ditelantarkan di mana-mana tanpa kejelasan nasabnya.

Kerusakan yang terjadi di bumi ini semata diakibatkan ulah manusia, bukan senjatanya. Orang sering memberi kiasan “the man behind the gun”. Demikian juga faham monogami atau faham poligami, tidak dapat disebut dewa penyelamat atau tertuduh dalam kebahagiaan atau kehancuran sebuah rumah tangga. Semua tergantung kepada manusia yang menjalankan kehidupan berumah tangga. Orang berilmu atau orang dungu! Sebab itu, jika kita takut tidak akan dapat berlaku bijak –sebagaimana dicontohkan Rasulullah–, maka menikahlah dengan seorang saja. Semua ada ilmunya, semua ada harganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar