Sabtu, 05 Desember 2009

Revivalisasi Quran Untuk Hadapi Ideologi Teroris (Bag. 1)

Tampaknya, dewi fortuna terus berpihak pada Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri. Pada 9 Oktober 2009, dalam operasi terbatas enam jam, dua teroris perekrut pelaku bom bunuh diri, Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir tewas diberondong peluru. Keberhasilan aparat kepolisian itu menyusul setelah sebelumnya tim Densus 88 berhasil mengobrak-abrik sarang teroris yang selama ini telah dicurigai. Hasilnya, tiga orang yang diduga terlibat aksi peledakan hotel milik asing itu, yakni Hotel JW Marriott dan Rizts Carlton ditembak mati.

Pasca pengeboman di kedua hotel, dua orang residivis teroris ditembak di Jakarta, dan seorang lagi bernama Ibrohim, penata bunga pada Hotel Rizts Carlton, tewas setelah dikeroyok ratusan anggota pasukan anti teror dalam operasi 18 jam di Dusun Beji, Kelurahan/Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Dan, pada penggerebekan pada 17 September 2009 Noordin M. Top, bersama tiga orang teroris lainnya, yakni Ario Sudarso, Bagus Budi Pranoto alias Urwah, dan Adib Susilp tewas di tangan pasukan anti teror Densus 88, di sebuah rumah persembunyian terpencil di Jebres, Solo, Jawa Tengah.

Sebelumnya, pada awal Juni tahun 2008 lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror, menangkap beberapa orang yang diduga anggota jaringan teroris di beberapa lokasi di Jawa Tengah, antara lain Semarang, Banyumas, Wonosobo, Temangung, Magelang, Boyolali, Sleman, Karanganyar, dan Sukoharjo. Salah satu di antaranya bernama Mahfud alias Yusron Mahmudi alias Ainul Bachri, yang diduga Abu Dujana, tokoh sentral dalam jaringan teroris Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara, bersama-sama Dulmatin, Noordin M Top, Zulkarnaen, dan Aris Munandar. Tindakan represif aparat kepolisian dalam memerangi terorisme memang telah berhasil menghancurkan jaringan sekaligus melemahkan kekuatan mereka.

Namun demikian, menurut Kepala Divisi Humas Polri (waktu itu) Irjen Sisno Adiwonoto, dari sejumlah penangkapan babak kedua, setelah operasi Maret 2007, semakin terbukti sel yang dibangun Abu Dujana berkembang cukup pesat dan mengakar. Ia juga diduga sebagai pelindung Noordin M. Top dan pengatur strategis peledakan di beberapa tempat di Indonesia, tidak hanya di Jawa tapi juga di Poso.

Dan, benar, setelah sekian lama tidak ada aktifitas fisik, pada 17 Juli 2009, dua ledakan hebat yang hampir bersamaan menghancurkan restoran di dua hotel mewah di Jakarta, yakni Hotel JW Marriott dan Rizts Carlton. Korban jiwa pun tidak terhindarkan, termasuk dua pelaku pengebom bunuh diri. Pilpres 2009 yang berjalan relatif sukses dan damai itu, tiba-tiba terkoyak oleh ledakan bom yang lagi-lagi dimotori buron paling dicari di Republik ini, Noordin M. Top. Begitu kuatkah ideologi terorisme mereka. Mengapa?

Adalah Abu Jandal al Azdi, seorang ideolog dalam kelompok Al Qaeda, mengaku terinspirasi isi Quran Surat Al Anfal ayat 65, mengarang buku yang diberi judul Tahridlul-l Mujahidin al Abthal ‘Ala Ihya’i Sunnati-l Ightiyal. Melalui bukunya itu, Abu Jandal yang bernama asli Ali Faris al Syuwail al Zahrani, sarjana lulusan Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Islam Saudi Arabia ini, bermaksud mengobarkan kembali semangat jihad pahlawan pejuang muslim dengan menghidupkan tradisi pembunuhan.

Tulisan ini tak bermaksud mengupas isi dari buku yang kemudian banyak menjadi inspirasi bagi tindak kekerasan dan terorisme di dunia, termasuk di Indonesia. Tapi ingin mengungkap adanya perkembangan pemaknaan yang bersifat reinterpretatif atas Quran, khususnya penafsiran terhadap ayat-ayat tentang jihad berkait dengan dinamika dunia, yang seolah hendak menanggapi semakin tiraninya peran AS di dunia, khususnya di belantara Timur Tengah, serta pengaruhnya bagi Islam di Indonesia.

Dalam Islam dikenal ada beberapa paradigma dalam melakukan interpretasi terhadap Quran. Secara teoritik, paradigma dipahami sebagai sistem keyakinan dasar yang dapat membimbing arah atau cara pendekatan, membangun teori, bahkan mempengaruhi teologis seseorang. Sebab itu, paradigma memiliki peranan yang signifikan dalam proses pemaknaan ayat-ayat.

Setidaknya secara garis besar terdapat 3 (tiga) paradigma dalam memaknai ayat-ayat Quran. Pertama, adalah model tafsir yang menggunakan paradigma, bahwa selain Allah sendiri, yang memiliki kuasa untuk melakukan tafsir atas ayat-ayat Quran adalah Quran itu sendiri, kemudian Rasul pembawa risalah, para sahabat Rasul, dan kalangan tabiin –orang yang menerima langsung dari sahabat Rasul mengenai penafsiran suatu ayat– secara berjenjang. Penafsiran model ini –dikembangkan pada sekitar 207-911 Hijriyyah– menggunakan metode periwayatan (manqul). Bila tidak ditemukan, baru menafsirkan berdasarkan makna literal (mantuq) sebagaimana tersurat dalam Quran.

Kedua, adalah model tafsir yang dikembangkan pada sekitar 606-710 Hijriyyah, menggunakan paradigma, bahwa selain Allah sendiri, yang memiliki kemampuan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Quran adalah kalangan orang arif dan berilmu (al rasikhun fi al-‘ilmi). Baik ilmu tentang keagamaan Islam (al-ulum al sary’iyaah) maupun ilmu pengetahuan lainnya (al-ulum al kauniyyah), seperti ilmu sosial, ekonomi, teknologi, dan lain-lain. Interpretasi ayat Quran menurut paradigma ini banyak mempertimbangkan faktor rasional dan pentakwilan. Karena itu paradigma ini dikenal sebagai penafsiran bi al-ra’yi.

Ketiga, adalah model tafsir yang lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan bidang keilmuan Islam kontemporer, sejalan dengan pertumbuhan pandangan historisme-empirisma pada Abad 20. Paradigma yang digunakan lebih memandang bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin, sehingga harus mampu memberikan kebermaknaan bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Penafsiran model ini lebih menggunakan pendekatan fungsional terhadap ayat-ayat Quran secara konstektual serta historis kritis, yang ditujukan bagi kemanfaatan umat manusia. Paradigma penafsiran terakhir ini banyak melahirkan pemikir-pemikir Islam moderat.

Berpijak pada sejarah fundamentalisme Islam, paradigma penafsiran Quran model kedua, memang pernah dikembangkan oleh kalangan Islam sempalan garis keras. Banyak mufasirrin yang mengkritik menilai, mereka lebih menafsirkan Quran semata demi kepentingan ideologi dan hegemoni kelompoknya sendiri. Al Qaeda yang berseteru dengan Amerika, misalnya, dapat dikatagorikan dalam barisan ini, karena telah memberikan pembenaran umat Islam untuk berjihad melawan Amerika, Yahudi dan kaum Salib/Nasrani. Mereka memproklamasikan barisan perlawanan yang diberi label Al Jabhah al-Islamiyah al-‘Alamiyah li Qital Amrikiyin wa al-Yahud wa al-Shalibiyin.


Infiltrasi Ideologis
Bagi Indonesia, menurut analisis Prof. Emeritus Ilmu Politik Daniel S. Lev, pengamat Indonesia dari Universitas Washington AS, keberadaan kelompok garis keras di Indonesia termasuk minoritas. Berpijak dari pendapat ini, dengan keberadaan dua organisai Islam terbesar di dunia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, didukung penyebaran pondok pesantren yang merata di wilayah Republik ini, diyakini dapat mengimunisasi warga masyarakat dari infiltrasi ideologi yang mempersempit makna jihad yang sesungguhnya dalam konteks Islam sebagai rahmatan lil alamin. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar