Sabtu, 05 Desember 2009

Revivalisasi Quran Untuk Hadapi Ideologi Teroris (Bag. 2)

Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia atas aksi terorisme di Indonesia, dari jumlah penduduk negeri ini sekitar 250 juta orang, diperoleh data yang berpendapat bahwa aksi bunuh diri dan tindak kekerasan untuk membela keyakinan/agama tertentu masih dapat dibenarkan hanya 1,60 persen responden –atau 4 juta orang–. Maka, berpijak pada hasil survei tersebut tentu belum terlambat bagi Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya konstruktif baik di bidang kebijakan politik maupun pembinaan dan pengembangan sistem sosial keagamaan.

Memang tidak dapat dipungkiri, adanya aksi kekerasan yang beberapa kali terjadi di Indonesia mengindikasikan keberadaan kelompok garis keras yang berpaham ala Al Qaeda. Kelompok ini dimotori oleh para militan mantan relawan perang Afganistan maupun Palestina yang kembali ke Indonesia, yang beberapa di antaranya terpengaruh ideologi Islam garis keras. Dan, kelompok ini semakin memiliki kekuatan setelah dua pentolan teroris asal Malaysia, Noordin M. Top dan DR. Azahari, membentuk barisan “pasukan berani mati” untuk memerangi kepentingan AS di negeri ini.

Sejak Pemerintah melancarkan perang antiterorisme, dimulai pada sekitar tahun 1999 hingga 2007, Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 telah menangkap lebih dari 400 orang yang dinyatakan terlibat gerakan teroris yang diduga dimotori kelompok Jemaah Islamiyah. Namun demikian, yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah tindakan yang bersifat represif dan militeristik itu bakal mampu memberangus kejahatan terorisme di Indonesia? Karena, meski tidak semasif dulu, beberapa teror bom toh masih saja menghantui masyarakat di Poso atau Ambon.

Menjawab pertanyaan itu, agaknya patutlah kita merenungi nasihat pendiri Jemaah Islamiyah Mesir, Syekh Najih Ibrahim, yang menyatakan sesungguhnya terorisme pemikiran lebih menakutkan bahkan lebih mengancam daripada terorisme fisik. Maka, kalau perang antiterorisme yang dilancarkan oleh Pemerintah Indonesia semata memenuhi keinginan atau atas desakan AS, dapat diprediksikan upaya itu bakal gagal. Sebab kenekatan “pasukan bunuh diri” yang telah beberapa kali beraksi di Republik ini, tampak sekali lebih didorong oleh motivasi ideologi, yakni memerangi –yang menurut penafsiran mereka– kaum kafir di seluruh dunia.

Seperti yang dinisbatkan oleh para pendahulunya, terorisme lebih digerakkan sebagai bentuk perang global yang tidak dibatasi garis batas kedaulatan negara, suku bangsa maupun ras. Perang yang dilancarkan, seperti semangat yang dikobarkan oleh gerakan Jama’at-i-Islami yang dibangun di India pada 21 Agustus oleh Sayyid Abul A’ala Maududi, adalah perjuangan untuk menegakkan syariat Islam. Karena Islam tidak mengenal paham kebangsaan berdasarkan etnik dan wilayah, maka semua umat Islam di dunia ini adalah satu bangsa (Maududi, 1942).

Sebuah Pesan
Dalam pendekatan teori, aksi teror mengandung pemahaman yang berbeda dari beberapa sudut pandang (Alex P. Schmid-1999). Kalangan akademisi, misalnya, memandang aksi teror adalah suatu metode yang didorong oleh keinginan melakukan tindak kekerasan secara berulang, dilakukan oleh individu perorangan maupun kelompok. Target teror bukan sasaran yang dituju. Sebab itu korban kekerasan dapat dipilih secara acak (targets of opportunity) atau target yang dipilih (representative atau symbolic targets), tergantung pesan yang diharapkan pelaku.

Berdasarkan pengertian di atas, maka wujud atau bentuk teror yang dibangun oleh pelaku dengan target yang dituju mengandung pesan yang ingin dikomunikasikan. Pesan itu dapat dimaknai sebagai tindakan pamer/menunjukkan eksistensi diri/kelompok, pesan moral untuk “menjawab” tindakan represif yang dilakukan penguasa/otoritas tertentu, atau guna mendapatkan justifikasi moral sekaligus membangun persepsi tentang keberadaan diri/kelompok berlatarbelakang kedaerahan, keyakinan/agama, ras, atau warna kulit atas dasar ideologi tertentu.

Namun dalam terminologi pemerintah –pada tahun 1974 pertama kali Pemerintah Inggris membedakan antara tindakan teroris dengan tindak kejahatan– mendefinisikan bahwa terorisme merupakan tindakan kekerasan untuk tujuan politik, tindakan kekerasan mana telah menjadikan masyarakat/sekelompok masyarakat tertentu berada dalam situasi ketakutan. Definisi ini kemudian diperluas oleh CIA pada tahun 1980, yang mendefinisikan bahwa terorisme adalah tindakan berupa ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik. Dilakukan oleh individu/kelompok terhadap pemerintahan yang sah dengan menciptakan ketakutan di masyarakat yang lebih luas daripada korban.

Sementara pihak teroris meyakini bahwa tindak ancaman atau penggunaan kekerasan yang dilakukannya merupakan mission sacre, yang wajib dilakukan untuk melawan “teroris” yang berwajah penguasa. AS dan Israel, misalnya, selalu mengatakan tindakan intifadah dan serangan roket pejuang Palestina ke wilayah kaum Yahudi itu sebagai serangan teroris. Sebaliknya, kelompok-kelompok perlawanan yang berjuang dan berperang melawan pendudukan Israel di Jalur Gaza, menyatakan penyerbuan/pengeboman ke wilayah-wilayah permukinan penduduk Palestina sebagai tindakan teroris. Jadi, siapa yang teroris?

Terlepas dari definisi apa yang menjadi patokan, secara kasat mata tampaknya aksi terorisme yang banyak terjadi saat ini lebih ditujukan terhadap AS dan konco-konconya yang jelas sekali sangat dipengaruhi teori The Clash of Civilizations-nya Samuel P. Hungtinton. Kebijakan luar negeri negara adi daya yang diskriminatif itu, khususnya di negara-negara Timur Tengah yang mayoritas muslim, seolah menyemaikan kembali gerakan Islam garis yang sempat mereda –pada masa Presiden AS Jimmy Carter–, seiring dengan tercapainya beberapa kesepakatan damai antara Palestina dan Israel.

Sekadar mengingatkan, profesor emeratus ilmu politik Samuel P. Hungtinton dari Massachussetts Institute of Technology, menulis buku The Clash of Civilizations and the Remaking of the Word Order. Dalam bukunya itu diuraikan 3 (tiga) hal pokok, Pertama, tentang turunnya dominasi Barat dan munculnya non-Barat –Islam dan Timur-Sinic/Kecinaan– sebagai penentu percaturan dunia. Kedua, negara adi daya non-Barat menunjukkan sikap anti Barat, lebih memilih kebudayaan sendiri. Tiga, peradaban yang berbeda, makin berkait satu sama lain, oleh karena mekanisme pasar, globalisasi media massa, ideologis universalis semacam Marxisme-Leninisme maupun Liberalisme semakin tidak laku (Simon & Schuster, New York-1997).

Perilaku yang tidak jauh beda dengan tindakan kalangan teroris yang ditunjukkan AS dan konco-konconya, seperti pengeboman di Afganistan, di Irak maupun di Darfur-Sudan, yang menewaskan ratusan penduduk sipil, dan seringkali dipublikasikan oleh media Barat sebagai “salah sasaran” yang tidak diharapkan itu, dipastikan telah menstimulasi tumbuh suburnya gerakan perlawanan dari kalangan Islam. Imbasnya, negara-negara yang memiliki atau dianggap memiliki hubungan dengan “polisi dunia” itu juga dipetakan menjadi target serangan. Tidak terkecuali Indonesia!

Lebih parah lagi, AS dan sekutunya kemudian disimpulkan sebagai simbol kelompok atau masyarakat Yahudi dan Nasrani yang notabene kaum kafir. Maka, tidaklah mengherankan bila upaya Pemerintah meredakan konflik Ambon dan Poso menjadi tidak mudah dibandingkan dengan mengatasi konflik antar-etnis, seperti yang terjadi di Kalimantan, misalnya. Menyikapi situasi demikian agaknya sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengkaji kembali kebijakan politiknya yang cenderung selalu mendukung kebijakan AS serta terlihat ketakutan kehilangan “sahabat baik”.

Kita juga perlu merenungi kembali pendapat Daniel S. Lev, yang sempat menasihati agar Pemerintah Indonesia jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang dalam berbagai program pembangunan hanya demi kepentingan jangan pendek AS. Indonesia merupakan sebuah negara yang kompleks dengan penduduk besar yang masih dilanda persoalan politik dan krisis ekonomi. Ditegaskannya, persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia tidak ada kaitannya dengan persoalan fundamentalisme atau radikalisme agama. Memang ada, tapi persoalan fundamentalisme tidak lebih serius daripada di bidang politik atau ekonomi. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar