Sabtu, 05 Desember 2009

Revivalisasi Quran Untuk Hadapi Ideologi Teroris (Bag. 3)

Stimulan Radikalisme
Sikap Indonesia, dalam kedudukannya sebagai anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB (ketika itu) yang mendukung perluasan sanksi bagi Iran berkait dengan program nuklirnya, apa pun alasannya, jelas kontra-produktif. Selain menunjukkan wajah dependen Pemerintah Indonesia kepada AS, sikap itu mengingkari komitmen bangsa ini tentang kebijakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Dalam jangka panjang kebijakan politik semacam itu dapat menyemai sekaligus menyuburkan ideologi fundamentalisme dan radikal anti-Barat di Republik ini, termasuk ideologi terorisme.

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, heterogen, serta baru saja menghadapi krisis multidimensional seperti saat ini, sudah tentu Pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengayunkan langkah. Kebijakan yang semata-mata memperhatikan kepentingan Barat (baca: AS), karena ketakutan tidak mendapatkan pinjaman atau bantuan militer, hanya akan menumbuhsuburkan ideologi terorisme. Mereka mencap Pemerintahan negeri ini tidak lebih dari boneka Barat, sebab itu harus diperangi.

Memang, mengacu pada pendapat Amartya Sen dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Desnity, saat ini Barat dapat dimaknai tengah mengidap sindroma identitas soliter. Identitas soliter, adalah penunggalan identitas sosial, yang diyakini sebagai kodrat alamiah. Perhatikan kebijakan luar negeri negara-negara Barat yang berstandard ganda itu cenderung memaksakan identitas soliter. Identitas sosial masyarakat dunia seolah diwajibkan atau harus menjadi serba western. Pemaknaan tentang demokrasi, kesetaraan gender, maupun hak asasi manusia (HAM), dianggap benar dan adil bila sesuai dengan standard dan paradigma Barat. Sementara nilai-nilai Timur distigmakan sebagai budaya barbar, melanggar HAM, serta tidak menghormati hak-hak asasi manusia (HAM), khususnya terhadap perempuan.

Contohnya, reaksi AS melalui Menteri Luar Negeri AS (waktu itu) Condoleezza Rice, yang mengintervensi kebijakan dalam negeri Pemerintah Venezuela sebab negara itu menutup stasiun televisi RCTV. Menlu itu menilai, tindakan itu sebagai anti-demokrasi. Ia menyatakan, kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, dan kebebasan hati nurani bukanlah duri dalam daging pemerintah. Sementara sampai saat ini AS mengabaikan tuntutan dunia internasional atas tindakan penyiksaan dan penyekapan ratusan tahanan yang diduga terlibat terorisme di penjara Teluk Guantanamo, Kuba serta penjara-penjara rahasia lainnya di beberapa negara tanpa dasar hukum atau putusan pengadilan. Presiden baru, Barack Obama Jr. memang mewacanakan bakal menutup penjara Teluk Guantanamo, tapi kapan?

Selain itu, untuk merealisasikan kebijakan globalnya itu, Barat telah pula menggelontorkan nilai-nilai budaya “yang serba bebas” ke negeri-negeri Timur, tidak terkecuali Indonesia. Selanjutnya, atas nama hak asasi manusia (HAM), setiap warga negara di Republik ini merasa berhak untuk mengikuti budaya Barat itu. Maka, perilaku dan gaya megapolitan pun menyeruak masuk dan lambat laun menyingkirkan budaya lokal. Seiring dengan itu, tingkat moralitas warga bangsa ini pun merosot, kuantitas dan kualitas kejahatan yang terjadi semakin beragam, sebagian di antaranya bahkan berkaliber internasional.

Ironisnya, dalam situasi yang demikian sistem hukum yang bekerja untuk menegakkan hukum (law enforcement), tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perangkat penegak hukum, yang seharusnya mampu menjadi penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, ternyata malah menjadi “pemain” guna membiayai kebutuhan dan tuntutan budaya Barat yang berbiaya mahal. Tak heran bila kita sering mendengar atau melihat oknum polisi/TNI. terlibat perampokan, peredaran narkoba, pembalakan liar, atau kejahatan lainnya, terutama korupsi. Atau, mendengar oknum kejaksaan yang “memainkan” dakwaan/tuntutan, serta hakim melakukan “jual-beli” vonis putusan hukuman.

Barat dengan sindroma identitas soliternya tampak sekali ingin melakukan westernisasi terhadap seluruh warga bangsa di dunia. Ketakutan yang berlebihan atas hipotesis Samuel P. Hungtinton dalam The Clash of Civilizations-nya, telah membutakan pihak Barat tentang pentingnya sikap toleransi. Bush sebagai simbol Barat menganggap –seperti Adolf Hitler pernah melakukannya tentang keunggulan bangsa Arya atas bangsa lain– budaya Barat adalah budaya unggul, sedangkan budaya Timur adalah budaya primitif, barbar, serta terbelakang.

Moral dasar yang demikian itu, dalam terminologi filsafat Nietzsche, merupakan moral dasar kaum ateis. Karena sifat ajaran ateis sangat memuja eksistensi individu, dan moral dasar ajaran ateis ini selalu mengatakan, keberdayaannya terhadap segala sesuatu selalu diukur dengan penilaian unggul dan hina. Menurut ajaran ini, moralitas dapat dibenarkan hanya bila mendukung keunggulan dan mengangkat derajat manusia sebagai manusia unggul, karena moral etis sudah tidak berlaku (Nietzsche, Antichrist 1888 dalam M. Sastrapratedja, 1982).

Revivalisasi Islam
Akhirnya, dengan memperhatikan keseluruhan uraian di atas, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus dapat memberikan contoh pemaknaan yang “benar” tentang ajaran Islam. Islam sebagai rahmatan lil alamin tentunya tidak memiliki wajah dominic yang menakutkan, seram serta kejam. Seharusnya wujud sosial dari ajaran Islam adalah seperti “wajah” Rasulullah Muhammad. Karena itu tampilan seorang muslim dalam sistem kemasyarakatan adalah pribadi yang santun dengan tindak tanduk yang mencerminkan kesalihan sosial.

Paradigma penafsiran terhadap ayat-ayat Quran sebagai induk ajaran Islam, yang sangat menghormati hak untuk hidup (Q.S. Al-An’am: 151), hak persamaan derajat (Q.S. Al-Hujurat: 13), hak memperoleh keadilan (Q.S. Al-Ma’idah: 2 dan 8), hak perlindungan harta/milik (Q.S. Al-Baqarah: 188), serta hak kebebasan beragama (QS. Al-Baqarah: 256 dan Yunus:99) harus lebih dikedepankan. Karena itu wajib bagi kalangan ulama di Republik ini untuk secara terus-menerus mengembangkan atau me-revivalisasi ajaran Islam, dengan menampilkan transendentalisasi perlindungan HAM yang tidak menabrak hudud (ketentuan-ketentuan) Allah sesuai Quran.

Dan, selain meniru perangai Nabi, umat Islam harus pula berkiblat kepada gaya kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a. tatkala menerima berita mengenai pasukan muslim yang telah menguasai Al-Quds atau Yerusalem. Pada saat itu ia segera mengirimkan perintah kepada komandan pasukannya, di antara perintah itu adalah, kewajiban memberikan jaminan keamanan penduduk atas jiwa, harta miliknya, maupun rumah ibadahnya. Tidak mengganggu dan merusak gereja-gereja maupun salib-salibnya. Tidak mengganggu dan mengambil barang-barang fasilitas peribadatan agama lain/kaum nasrani. Dan, tidak memaksakan agama Islam kepada pengikut agama lain/kaum nasrani (Muh. Tholchah Hasan, 1997).

Dengan demikian kehadiran dan keberadaan agama Islam di bumi ini, selain mampu mengembangkan kesadaran dan semangat kesatuan antar-sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), kesatuan antar-umat beragama (ukhuwah wathoniyah), juga kesatuan antar-manusia sebagai warga masyarakat dunia (ukhuwah basyariyah). Maka, reinterpretatif atas ayat-ayat Quran sebagai firman Allah yang berada di luar batasan ruang dan waktu, di masa-masa mendatang harus semakin diarahkan ke dalam bingkai penghormatan terhadap HAM dalam teologi Islam, sebagaimana telah diformulasikan dalam Al-Bayan al alami ‘an Huquq al-Insan fil Islam atau Deklarasi Internasional tentang HAM dalam Islam di Paris, pada tahun 1981. Pada saat inilah ideologi terorisme tunduk dan kalah. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar