Sabtu, 26 Desember 2009

Menurut Islam: God is Not

Judul sampul muka majalah terkemuka dunia, TIME, pada edisi 8 April 1966: Is God Dead?, memang mengejutkan banyak pihak. Namun menurut Islam, keyakinan semacam itu sudah lampau, sebab Tuhan memang tidak ada. Itu bisa kita pahami dari kalimat kesaksian –disebut syahadat tauhid– dalam Islam: Asyahadu ala ilaha ilallah (Tidak ada Tuhan, selain Allah).

Siapa itu Allah? Untuk menjelaskan sengaja Penulis kutip sebagian uraian dengan sedikit editing dari seorang Kompasianer, Andi Indra, 24 Desember 2009 lalu berjudul Emanasi Filsafat Islam, sebagai berikut.
Wujud yang satu, tunggal dan tiada terbagi. Ahad-Nya bukanlah satu bilangan rasional. Bukan pula bilangan nyata. Eksistensi Ahad-Nya tidak memungkinkan untuk menjadi jamak, dua, tiga, dan seterusnya. Tidak mungkin pula diambil sebagian dari-Nya. Satu ahadiyyul-ma’na. Wujud itu Maha Sempurna tiada terkata. Bahkan diri-Nya adalah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaan dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah-pilah ke dalam fractal-fractal penyifatan manusia nan senantiasa terkurung keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti/memahami dari segi-seginya yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejati-Nya.
Wujud yang Maha Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada pembatas-Nya; pembatas-Nya tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh akal manusia. Maha Luas dalam semua aspek-Nya. Mutlak dalam seluruh segi-Nya. Bagaimana mungkin Wujud yang Tunggal, Sempurna dan Luas Tiada Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah–mahiyyah yang tersebar dalam alam kejamakan, tidak sempurna dan terbatas.
Demikianlah eksistensi Allah. Maka, jika Allah menampakkan diri-Nya dengan “sesuatu” yang lain, selain menimbulkan keganjilan dalam logika berpikir, sekaligus bakal meniadakan kemahakuasaan-Nya. Kewarasan logika manusia tentu mengalami kesulitan berpikir untuk percaya, yang disebut “Allah” itu adalah benda mati atau benda hidup, atau penyifatan lainnya. Andai penyifatan itu diwujudkan ke dalam sosok hewan atau sosok manusia, yang secara alamiah memiliki alat reproduksi, tentu secara alamiah pula sosok itu butuh hubungan sex. Atau, jika sosok itu butuh makan-minum, dipastikan sosok itu butuh juga tempat buang air. Dan, sosok itu pun pasti mengalami kematian!
Tuhan Boleh Mati
Eksistensi Allah tentu lebih terhormat daripada semua itu. Allah menegaskan keadaan-Nya dikomparasikan dengan tuhan-tuan selain diri-Nya dalam Q.S. Al-Furgon ayat 3: “Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”.

Tuhan-tuhan selain Allah boleh mati, God is dead! Dan, orang tidak dilarang untuk tak mempercayai keberadaan Allah, bahkan tidak dilarang pula untuk tidak mengabdi kepada-Nya. Bagi Allah, pengingkaran makhluk ciptaan –dalam wujud manusia maupun syetan– tidak bakal mengurangi kemuliaan-Nya. Demikian pula ketundukan makhluk ciptaan kepada Allah, tidak akan menambah kemuliaan-Nya. Pengabdian makhluk ciptaan kepada Allah, semata untuk kepentingan mereka sendiri.

Bahkan orang boleh memilih dari sekalian ragam agama yang ada. Yang dibawa oleh para Nabi, asalkan mereka menyembah Sang ahadiyyul-ma’na. Sebab agama demikian itu telah mendapatkan ridho Allah, sebagai agama yang lurus. Karena, secara logika berpikir waras, ajaran agama di antara para Nabi tidak mungkin ada pertentangan dalam hal menempatkan Allah sebagai satu-satunya Eksistensi Sebab bagi terciptanya alam semesta beserta isinya.

Dalam logika filsafat mengenai hakikat eksistensi dibagi dalam 3 (tiga) prinsip berpikir. Pertama, asas identitatis, disebut pula principium identitatis atau qonun zatiyah, menerangkan bahwa setiap “sesuatu” adalah dirinya sendiri, bukan “sesuatu” yang lain. Kedua, asas kontrakdisi, dipahami pula sebagai principium contradictoris atau qonun tanaqud, menjelaskan bahwa pengingkaran atas “sesuatu” tidak mungkin sama dengan pengakuan terhadap “sesuatu” itu. Dan, ketiga, asas penolakan kemungkinan ketiga, dimaknai juga sebagai principium exclusi tertii atau qonun imtina’, memberi pengertian bahwa pengakuan dan pengingkaran atas “sesuatu", kebenarannya berada pada salah satu di antaranya, tidak mungkin berada pada kedua-keduanya.

Berprinsip pada logika filsafat demikian itu, tentu mustahil jika Allah yang diyakini sebagai Eksistensi Sebab yang menduhului tanpa awal, memberikan penjelasan yang inkonsistensi tentang keesaan-Nya. Penegasan itu terlihat dari perintah Allah kepada umat muslim, Q.S. Al Baqarah ayat 136: “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya (Allah). Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."

God is Dead Theology
Adanya pendapat yang meyakini ajaran agama tidak lagi relevan diterapkan dalam realitas kehidupan, karena Yang Maha Kuasa itu tak lagi hadir memberi jalan ke luar atas berbagai kesengsaraan manusia, menunjukkan terjadinya kesalahan berpikir akut. Al Quran, sebagai pedoman hidup umat muslim, telah menegaskan, ia (manusia) mendapat kebajikan dari yang diusahakannya, dan ia mendapat kesengsaraan dari yang dikerjakannya (Q.S. Al Baqarah ayat 286). Sebuah ayat yang memberikan penghargaan atas independensi manusia, untuk mati atau berkembang.

Munculnya faham yang memvonis adanya irelevansi antara agama dengan kompleksitas permasalahan manusia, yang ditandai dengan lahirnya gerakan god is dead theology, merupakan wujud keputusasaan manusia modern. Karena benak mereka penuh dengan keyakinan tentang personifikasi Allah, yang akan hadir setiap saat dibutuhkan manusia layaknya brandweer, jawatan pemadam kebakaran. Bagi Allah, sebagai mahkluk ciptaan, manusia maupun syetan diberi kebebasan sepenuhnya. Sebab alam semesta beserta seluruh isinya, hakikatnya adalah “medan uji” untuk umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar