Minggu, 20 Desember 2009

Beragama Butuh Akal Sehat

Al Quran adalah kita suci. Diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai manual atau pedoman hidup manusia, agar para khalifathul fil ardh itu mendapatkan kehormatan yang utuh. Para tasawuf bahkan meyakini, untuk membedakan antara “sesuatu” itu –baik dalam wujud perbuatan atau barang– halal atau haram, digantungkan kepada akibatnya. Jika hal itu berakibat eksistensi kemanusiaannya runtuh, harkat dan martabatnya terhinakan, maka “sesuatu” itu haram hukumnya. Wajib dihindari sekaligus ditolak.



Bagi muslim, sebagaimana dicontohkan Rasulullah, Al Quran merupakan literatur lengkap yang menjadi sumber pranata sosial manusia, baik dalam kedudukannya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kitab suci ini juga memiliki kandungan sumber-sumber pengetahuan tentang kealamsemestaan, seperti astronomi, biologi, maupun fisika. Sayang, penggalian yang dilakukan kalangan umat muslim selama ini terbanyak masih terbatas pada kisaran wilayah-wilayah peribadatan (ubudiyah) dan hubungan sosial-kemasyarakatan (muamalah).

Sebagai pedoman hidup, Al Quran merupakan konstitusi bagi setiap muslim. Dan, dalam aplikasi sehari-hari dapat dilihat bagaimana Rasulullah berperilaku. Makna “perilaku” dimaksud tidah terbatas pada wujud sikap beribadah dan berhubungan sosial semata. Namun, termasuk pula bagaimana utusan Allah itu memandang keberadaan ilmu pengetahuan. Banyak hadist-hadist yang meriwayatkan bagaimana Nabi Muhammad menghormati orang berilmu serta menyintai orang-orang yang berlomba mencari ilmu pengetahuan.

Baik Al Quran maupun Al Hadist, tentang ilmu pengetahuan begitu bergayut dan saling melengkapi. Maka, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk membenci ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan sebuah kehidupan menjadi bermakna. Sosok-sosok manusia akan berinteraksi sosial antara satu dengan lainnya, dalam jalinan yang harmoni dalam keberagaman warna kulit, etnis, bahasa, serta agama. Sebab, hati atau qolbu mereka sudah berada pada tingkat kesadaran manusiawi, yakni pemahaman untuk apa mereka lahir, hidup, dan beriteraksi sosial.

Butuh Booster
Setuju atau tidak setuju, setiap sosok manusia itu pada dasarnya lemah. Mudah sekali terguncang, tatkala menghadapi perubahan ekstrem di seputar dirinya. Dari hidup kaya, kemudian jatuh miskin. Dari merasa senang, lalu mendapat susah. Dari merasa dicintai, tiba-tiba merasa dibenci. Atau, dari merasa diperhatikan, setelah itu ditelantarkan. Akibatnya, banyak contoh kasus terjadi dan dapat dilihat di seputar kita. Salah satunya adalah aksi bunuh diri.

Al Quran diturunkan tidak sekadar untuk menandai keberadaan agama Islam. Kitab suci ini juga mengemban maksud, bagaimana agar manusia itu dapat tampil utuh. Sosok yang hadir adalah potret individu dengan tampilan sempurna sebagai makhluk ciptaan, dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan lain. Dan, untuk mencapai martabat yang demikian, bagi setiap muslim diwajibkan mampu menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayat Al Quran, pada perilaku hidup sehari-hari. Al Quran berfungsi sebagai booster (penguat) kehidupan.

Karena itu, ayat-ayat Al Quran bukan semata bahan hafalan, atau materi bagi lomba-lomba tilawatil Quran. Tapi lebih ditujukan sebagai literatur kehidupan untuk direnungkan, kemudian diaplikasikan dalam setiap langkah kaki dan perkataan. Diwujudkan dalam bentuk sikap dan perbuatan, sehingga tidak menjadi nilai-nilai utopia semata. Dengan kalimat lain, sebagai materi ajaran agama, Al Quran dilarang ditempatkan sebagai komoditas yang dihitung dalam makna untung-rugi, atau seperti benda-benda keramat lainnya yang hanya disimpan dan diciumi.

Al Quran merupakan sarana “mendekatkan” jarak antara Al Khaliq dengan manusia. Allah Swt dalam sifat yang tidak mungkin sama dengan ciptaannya (walam yakulahu kufuwan ahad), tidak pernah dan tidak akan pernah mewujud dalam wujud apa pun dalam kehidupan manusia. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia modern, yang sempat melahirkan gerakan pemikiran “god is dead theology” di era tahun 60-an, tidak bakal menstimulasi keberadaan Allah Swt untuk hadir, hidup bersama manusia, dan secara bersama pula merasakan segala penderitaan manusia. Apalagi ikut berpartisipasi menyembuhkannya.

Kesempurnaan Al Khaliq dengan ketidaksempurnaan semua ciptaan-Nya, mustahil berada dalam satu kesatuan. Seluruh ciptaan, baik mahkluk hidup maupun benda-benda lain di alam semesta ini, memiliki keterbatasan-keterbatasan alamiah. Ciptaan itu senantiasa berada dalam lingkaran batas ruang dan waktu. Dalam kalimat lain, berada dalam limitasi yang tertentukan, baik dari sisi usia (kekekalan), kapasitas, serta kemampuannya.

Sebab itu, personifikasi Allah Swt dengan “sesuatu” yang lain, selain menimbulkan keganjilan dalam logika, sekaligus menisbikan kemahakuasaan-Nya. Kewarasan logika kita tentu mengalami kesulitan berpikir untuk mempercayai, bahwa yang disebut “God” itu adalah benda mati atau benda hidup. Apalagi, misal berwujud hewan atau manusia, yang secara alamiah memiliki alat kelamin, kemudian berhubungan sex, makan-minum, lalu buang air. Allah Swt tentu lebih terhormat daripada itu.

Dan, tentang berkembangnya anggapan sementara pihak yang meyakini, ketika sekalian manusia semakin sadar terhadap potensi dirinya dan kemampuan eksplorasi nalarnya, kemudian menilai kebanyakan agama seakan tergagap akan perannya, merupakan hipotesis yang salah. Al Quran, sebagai pedoman hidup umat muslim, telah menegaskan, ia (manusia) mendapat kebajikan dari yang diusahakannya, dan ia mendapat kesengsaraan dari yang dikerjakannya (Q.S. Al Baqarah ayat 286). Sebuah ayat yang memberikan penghargaan atas independensi keberadaan manusia, untuk mati atau berkembang. Wallahu ‘alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar