Selasa, 15 Desember 2009

Aktor Utama Itu Disebut Hati

Aktor utama dalam kehidupan sosok manusia adalah hati atau qolbu. Dalam ruangan ini bertumpuk sekalian rasa, seperti rasa cinta/rindu, benci, senang/gembira, sedih, marah, sabar, sombong, ikhlas, sesal, bersyukur, puas, dengki, dan masih banyak lagi. Hati atau qolbu bukan daging yang berada di bagian perut sebelah kanan tubuh manusia. Hati tidak sama dengan organ yang disebut lever (awam menyebutnya, organ hati).



Pekerjaan hati independen dan aktif. Berbeda dengan otak, yang bersifat pasif. Pekerjaan otak, menuruti niatan hati. Situasi hati tidak dapat diatur otak. Sebab otak adalah budak dari hati. Karena itulah penghargaan atas suatu hasil dari pekerjaan seseorang, seringkali dinyatakan “tergantung dari niatnya” dan bukan “tergantung dari kecerdasan otaknya”.

Ketika manusia bersikap, apa pun wujud sikapnya, merupakan hasil akhir atau konklusi. Penarikan konklusi atau kesimpulan tersebut, dapat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logika otak atau justru sebaliknya, mengabaikan “saran” kecerdasan otak. Contoh ekstrem, adalah keputusan untuk bunuh diri. Dalam aksi ini, tindakan itu sudah tidak logis. Sebab itu, tidak ada logika paling tepat yang mampu mendiagnosis dan memberikan jawaban logis mengapa seseorang melakukan aksi nekat itu.

Ahli kejiwaan hanya mampu memprediksi tentang perilaku manusia, berdasarkan fenomena yang terlihat/terbaca atau wujud tindakan yang mengemuka. Psikiater menarik kesimpulan mengenai perilaku manusia hanya berdasarkan refleksi-empirik. Sedangkan tindakan manusia tak jarang bertolak belakang dengan penilaian yang kita berikan. Misal, kita memberikan penilaian seseorang telah bertindak ikhlas ketika melakukan kebaikan. Padahal dihatinya penuh rasa kesombongan, keinginan untuk dipuji dan dihormati orang lain.

Tentang hal ini, Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan, ikhlas (kebersihan) itu berlawanan dengan isyrak (persekutuan). Maka siapa yang tiada ikhlas, dia itu menyekutukan. Ikhlas dan lawannya, isyrak datang-mendatangi kepada hati, yang berangkat dari maksud dan niat. Manakala penggerak (untuk bertindak atau berbuat sesuatu, Pen.) itu hanya satu semata-mata, niscaya dinamakan perbuatan yang terbit daripadanya tersebut ikhlas.
Munafik
Salah satu wujud dari tindakan tidak ikhlas, atau isyrak (persekutuan), adalah sikap munafik. Namun demikian kita tidak dapat menuduh si-A telah berbuat ikhlas, sedangkan si-B telah bertindak tidak ikhlas. Tapi kita boleh meyakini dalam sekumpulan orang yang sedang melakukan perbuatan, misalnya dalam Pansus Bank Century, ada yang berbuat karena dorongan keikhlasan dan apa pula yang bertindak atas dasar sebab kedengkian (baca: tidak ikhlas).

Dari tulisan para blogger maupun tanggapan-tanggapan yang mengemuka di Kompasiana, dapat pula dijadikan obyek kajian tentang hal ini. Kita dapat memperhatikan, bagaimana seseorang berbicara melalui tulisannya mengenai keikhlasan, kebaikan hati serta mendefinisikan apa itu perilaku jelek. Namun, pada kesempatan lain –baik dalam bentuk tulisan atau tanggapan– ia bertindak tidak lagi sesuai dengan alur pikiran atau tidak memiliki konsistensi sikap, jika dibandingkan dengan apa yang pernah diungkapkannya.

Apakah itu bertindak munafik? Tidak tahu, sebab kita tidak dapat mengintip melalui jendela hati atau qolbu-nya untuk mengetahui niatnya. Pada titik inilah ajaran agama memiliki peran. Dengan kata lain, agama –baik agama samawi atau bukan– diciptakan untuk mencerdaskan sekaligus melakukan pembinaan atas pekerjaan hati atau qolbu. Sedang keberadaan otak manusia, ibarat seorang hakim yang akan menjatuhkan vonis, memberikan landasan hukumnya (termasuk syar’i) serta memberikan pertimbangan sesuai fenomena sosial yang tengah terjadi. Tapi sekali lagi, pertimbangan otak tetap mungkin diabaikan hati atau qolbu.

Mengacu pada paparan di atas, apabila kita ingin bersikap, tetapkanlah sikap itu berdasarkan suara hati. Jangan bersikap menurut perintah. Siapa pun yang memerintahkan. Manusia bukanlah sosok robot. Meski berada dalam kuasa Allah Swt, sebagai Sang Pencipta alam semesta beserta isinya, manusia tetap diberi kebebasan bersikap. Dan, bila sikap seseorang semata berdasarkan “kepentingan” kepada Allah Swt, maka itulah tindakan yang bersih, tindakan yang ikhlas.

Independensi Manusia
Demikian juga dalam keberimanan dan ketidakberimanan tentang eksistensi Allah Swt, sebagai Sang Pencipta. Itu sepenuhnya urusan hati manusia, bukan urusan Allah. Bagi Allah, keberimanan dan ketidakberimanan hati manusia, tidak menambah atau mengurangi keagungan-Nya. Dalam redaksi lain, manusia itu mau mengakui adanya Allah silakan, mau mengkomparasikan Allah Swt dengan energi (seperti ide dari Kompasianer, Angel Michel) tidak dilarang. Itu semua persoalan hati, berarti tidak dapat dilogikakan!

Kalau begitu, apa fungsi otak manusia? Kata ilmuwan, periode emas perkembangan otak manusia dimulai sejak anak-anak pada trimester ke-3 kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Dan, sejak lahir anak memiliki 100 milyar sel otak. (Upledger, J., A. Brain is Born, 1999). Namun kecerdasan anak tidak ditentukan oleh banyaknya sel otak, melainkan jumlah terjadinya hubungan antar-sel otak yang disebut dengan sinapsis. Berinteraksi dan perhatian yang cukup dari orang dewasa akan menstimulasi otak anak, sehingga menyebabkan sinapsis tumbuh dan memperkuat hubungan antar-sel otak. Saat dilahirkan, sebagian besar sel otak anak sama sekali belum terhubung dalam jaringannya.

Dari penjelasan itu, terjawablah pertanyaan di atas, bahwa di dalam otaklah tersimpan segala data tentang ilmu pengetahuan. Otak menjadi sumber yang bersifat menginspirasi bagi “rencana” tindakan manusia, sebelum diputuskan oleh hati atau qolbu. Logis atau tidak logis. Tapi otak tidak dapat memerintahkan hati. Sebab itu kemuliaan manusia tidak dapat dipertimbangkan menurut kecerdasan otaknya, tapi dilihat berdasarkan kecerdasan hatinya. Wallahu’alam bisawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar