Senin, 14 Desember 2009

Agama Itu Seperti Blackberry

Dalam komunikasi dikenal adanya tiga pihak, komunikator, mediator, dan komunikan. Saat ini, ha pe dengan fasilitas Blackberry diklasifikasi sebagai alat komunikasi portabel paling canggih. Bahkan tak lama lagi bakal diluncurkan Blackberry versi Indonesia. Dengan penjelasan tersebut dapat dipahami, ha pe dengan fasilitas Blackberry sebenarnya tidak lebih dari sekadar alat komunikasi dengan posisi sebagai mediator.



Demikian juga dengan agama yang dibawa Sang Guru atau Rasul, yang diajarkan kepada umat manusia, adalah alat komunikasi dengan Tuhan. Tuhan berposisi sebagai komunikator, agama sebagai mediator, dan umat manusia sebagai komunikan, yakni penerima materi yang dikomunikasikan Tuhan. Sang Guru atau Rasul tak lebih dari pesuruh yang mengerjakan perintah “Atasan”. Sebab itu ia menjadi teladan/contoh yang baik atau uswatun khasanah.

Terlepas dari agama apa yang kita anut, kita wajib meyakini agama kitalah yang paling benar. Bukan agama orang lain. Dengan keyakinan semacam itu akan menyibukkan diri kita untuk senantiasa mengkaji dan memperdalamnya, selanjutnya mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dalam perilaku sehari-hari. Dalam kalimat lain, tidak perlu menyibukkan diri mengkaji dan mengkritisi agama orang lain, kemudian menghujatnya.

Setiap agama memiliki kitab suci. Kitab suci itu dapat diibaratkan manual yang melengkapi ha pe “Blackberry” (baca: agama) kita. Kitab suci mengajarkan tentang tata krama pelaksanaan ritual untuk berkomunikasi dengan Al Khalik, Sang Maha Pencipta. Apa pun merek “Blackberry” milik kita, kita meyakini alat komunikasi itu akan mampu berkomunikasi dengan optimal, sejauh kita menjalankannya sesuai buku pedoman mengoperasikannya. Jangan menggunakan buku manual merek lain, percayalah pasti ha pe “Blackberry” milik kita itu bakal rusak.

Di samping itu, juga jangan menjadi Tuhan. Maksudnya, bertujuan melengkapi ha pe “Blackberry” milik kita, kemudian dengan lancang kita mengotak-atik sendiri, tak lagi mentaati buku pedomannya. Atau disebut juga melakukan bid’ah –melaksanakan ritual atau ajaran yang tidak pernah diperintahkan/dicontohkan– dipastikan akan merusak sekaligus menyesatkan. Dikiranya sedang berkomunikasi dengan Tuhan, padahal sedang bercengkerama dengan setan.

Jangan Talfiq
Menurut agama Islam, dikenal adanya istilah talfiq, yakni menganut dua madzab. Dan, kedua madzab itu membatalkan pelaksanaan ibadahnya. Contoh, seorang penganut madzab ketika terkena darah amat sedikit –tertusuk jarum, misalnya– berkeyakinan wudlunya tidak batal, kecuali bersentuhan dengan wanita. Namun saat bersamaan dirinya bersentuhan dengan wanita, dan ia menyatakan wudlunya tidak batal pula, kecuali terkena darah amat sedikit. Maka, kedua madzab menyatakan batal wudlunya. Mengapa? Madzab kesatu meletakkan hukum batal karena terkena darah, sedangkan madzab kedua menyatakan batal sebab bersentuhan dengan wanita.

Ushul fiqih ini bisa diqiyaskan pada keyakinan beragama. Dalam Islam, makan daging babi, bangkai (hewan disembelih tanpa menyebut nama Allah Swt), dan darah. Bila ada seseorang mengaku sebagai muslim, dan tatkala menghadiri pesta ia makan daging babi, bangkai, atau darah. Ketika ditanya, ia jawab saat itu dirinya beragama non-muslim, yang tidak mengharamkannya. Tapi, ketika mendengar adzan sebagai tanda datangnya waktu shalat, ia segera ke surau untuk beribadah. Maka, kedua agama –Islam maupun agama non-Islam itu– menyatakan orang tersebut tidak beragama.

Berdasarkan pengertian itu, kerukunan antar-umat beragama itu wajib, tapi kerukunan beragama itu dilarang. Penghormatan terhadap agama lain tidak dapat dimaknai sebagai kewajiban diri mengikuti ritual agama lain itu. Cukup bagi umat beragama bersangkutan untuk tidak mengutip dan memutarbalikkan ajaran/ayat-ayat kitab suci agama lain, tidak memperolok-olokan, apalagi menghujat bahkan menghancurkan tempat ibadahnya. Namun, bila ada umat agama lain melakukan tindakan-tindakan negatif seperti yang disebut terakhir, wajib dilawan. Pertaruhkan harta, jiwa, dan ragamu untuk Allah Swt. Tiada kematian yang lebih indah, kecuali menjadi syahid.

Theologi Humanisme
Meski sudah sejak lama ada, keyakinan tentang kesetaraan manusia dan sikap kemanusiaan –tanpa keyakinan terhadap Tuhan– semakin berkembang. Pengikut ajaran theologi humanisme ini meyakini agama sudah tidak mampu mengatasi masalah kemanusiaan. Peperangan dan kehancuran peradaban manusia di seluruh muka bumi, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, selalu dilandasi sentimen agama.

Para pengikut ajaran ini tidak memiliki kitab suci, apalagi Tuhan. Pokok keyakinannya adalah mengajarkan falsafah kesetaraan serta perdamaian antar-umat manusia semata. Moto hidupnya: Peace and be happy forever. Sekilas ajaran ini membawa kenikmatan hidup. Bagaimana tidak. Bagi mereka tidak ada halal-haram, tidak ada prosesi ritual. Literaturnya adalah semua buku yang mengajarkan nilai-nilai humanis dan egalitarian, baik bersumber dari tulisan tokoh-tokoh agama maupun para filosof.

Segala bentuk kehidupan akhirat, hidup sesudah mati, maupun surga-neraka, tidak lebih dari sebuah kenisbian belaka. Mereka bukan sekadar tidak percaya, bahkan tidak berharap. Namun demikian umat beragama tidak perlu membencinya. Sikap itu telah diyakini sebagai pilihan hidup. Kemuliaannya diletakkan pada sikapnya yang anti kekerasan dan segala bentuk diskriminasi. Berbeda dengan umat beragama. Bahkan dalam Islam ada semboyan yang diambil dari riwayat Ibnu Zubair, seorang alim sekaligus syuhada, yang berbunyi: Isy kariman au mut syahidan atau be a good moslem or die as a syuhada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar