Senin, 07 Desember 2009

Menjual Diri Untuk Hidup

Sudah dipahami, manusia itu pada dasarnya egois. Senantiasa dan selalu berusaha memperjuangkan kepentingannya sendiri. Namun, sebagai makhluk sosial manusia “terpaksa” berinteraksi dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan, komunikasi adalah salah satu dari berbagai bentuk kegiatan manusia dalam upaya merealisasikan keinginan maupun kebutuhannya. Dengan berkomunikasi manusia dapat mengekspresikan kebutuhan hidupnya, menyatakan kehendaknya, hingga dirinya mampu bertahan hidup. Sebaliknya, manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, nyaris dapat dipastikan ia bakal tersingkir dari komunitas sosialnya.
Berkomunikasi memiliki makna yang luas, dapat berwujud komunikasi verbal maupun non-verbal. Yang perlu dipahami adalah: Bagaimana komunikasi dapat berlangsung efektif? Tentang hal ini memang tidak ada rumus baku. Kalangan praktisi bidang komunikasi pun belum ada yang berani menyatakan tentang adanya formula khusus yang harus dipenuhi komunikator agar pesan-pesan yang dikomunikasikannya efektif. Namun demikian, mengikuti alur pemahaman bidang ilmu publisistik praktika, dapatlah dinyatakan suatu informasi memiliki nilai berita yang tinggi bila informasi itu memenuhi unsur-unsurnya.

Tentang unsur-unsur ini, F. Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism mengatakan (Henny Mono, 2001) bahwa nilai berita setidaknya harus mencakup 4 (empat) unsur pokok, yaitu:
- Timeliness, aktualitas atau sifat kebaruan dari fakta peristiwanya.
- Proximity, jarak antara tempat peristiwanya dengan lingkup berita.
- Size, bobot fakta peristiwanya, misalnya faktor keluarbiasaannya.
- Importance, bobot fakta peristiwanya, penting atau tidak penting.

Meski keempat unsur pokok itu oleh pencetusnya dimaksudkan untuk kebutuhan penilaian atas fakta peristiwa di bidang praktik jurnalistik, namun hal itu dapat diadaptasi untuk kepentingan komunikasi efektif. Sebagai komunikator yang baik, tentunya harus mampu mengaktualisasikan apa pun tentang kebutuhan maupun kepentingan yang diharapkan komunitas sasaran. Mengaktualisasikan diri dalam konteks ini dapat terhadap “produk lama” yang diperbarui, atau mengenai hal-hal baru. Sebab segala sesuatu itu memiliki batasan waktu (timeliness). Sementara tindakan komunikasi merupakan bentuk lain dari upaya-upaya “menjual diri” (personal selling).

Dengan demikian mengkomunikasikan diri tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum pemasaran. Yang berbeda hanya wujud produknya. Yang satu dalam bentuk barang, yang lain dalam bentuk sosok manusia dengan gagasan-gagasan atau ide-idenya.

Pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout, dalam bukunya yang populer berjudul The 22 Immutables Laws of Marketing, menegaskan pemasaran itu bukan perang dari mutu suatu produk, tapi merupakan perang mengenai persepsi. Selanjutnya ia katakan, adalah lebih baik meraih brand yang pertama dari suatu produk daripada yang kedua, meski pun produk yang terakhir ini lebih baik mutunya. Maka, jika tidak dapat menjadi yang pertama, ciptakan katagori-katagori baru, sehingga menjadi yang pertama untuk suatu produk tertentu dengan katagori baru.

Dapat diilustrasikan, dalam peristiwa pendaratan pesawat ruang angkasa misalnya, Neil Amstrong tentu lebih mudah dikenal sebagai astronot pertama mendarat di bulan daripada astronot-astronot berikutnya. Sedangkan nama Yuri Gagarin, lebih dikenal sebagai kosmonot pertama yang tinggal di luar angkasa, daripada kosmonot-konsmonot berikutnya. Walau dalam kedua peristiwa tersebut menyangkut hal yang sama, yakni kemampuan di bidang penguasaan antariksa, namun kedua orang tersebut sama-sama mampu tampil menjadi yang pertama. Demikian juga halnya dengan kita, bagaimana dapat tampil menjadi yang pertama meski sebenarnya kita muncul pada babak berikutnya.

Selanjutnya, tentang unsur kedua adalah proximity, yakni kedekatan antara materi informasi yang disampaikan komunikator dengan komunikannya. Kedekatan tersebut dapat bersifat psikologis maupun sosiologis. Dan, seperti dipahami komunikasi terjadi karena adanya kepentingan manusia memperoleh keuntungan –materi maupun non-materi dan untuk kebutuhan pribadi maupun sosial–, maka wujud informasi harus mampu menjawab kebutuhan psikologi sekaligus sosiologis. Berarti, seseorang yang bermaksud menjual diri (baca: mengkomunikasikan diri) sudah tentu dituntut mampu tampil kreatif dalam menyampaikan pikiran-pikirannya.

Berikutnya, tentang unsur muatan informasi yang disampaikan komunikator haruslah memiliki “size”, yaitu bobot mengenai informasi. Maksudnya, materi informasi yang disampkaikan bukanlah hal yang biasa-biasa dan sederhana. Materi informasi itu harus memenuhi kriteria, seperti misalnya memiliki fokus atau target yang jelas, terstruktur atau mempunyai sistematika, bersifat logis, serta memungkinkan direalisasikan. Informasi yang berisi setumpukan nilai-nilai utopia semata dan sulit dipraktikkan, jelas tak laku.

Dan terakhir, tentang informasi yang disampaikan haruslah memiliki nilai importance, yakni suatu nilai yang relatif penting bagi komunitas sasaran. Berarti bobot materinya tidak semata mengandung nilai kebenaran, tapi sekaligus menjawab kebutuhan. Jika sebaliknya, misalnya informasi yang disampaikan berisikan materi-materi sederhana, bahkan sudah basi, tentu tak menarik minat bagi komunitas sosial. Orang sekarang mengatakan, informasi itu sudah tidak nge-trend. Sudah out of date.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar