Sabtu, 05 Desember 2009

Al Quran Disandingkan Kitab Suci Lain (Bag. 1)

Di dunia ini, diyakini terdapat banyak kitab suci, atau setidak-tidaknya kitab yang dianggap kitab suci. Oleh pengikutnya kitab-kitab suci itu tentunya diyakini berisi ajaran-ajaran yang paling benar dibandingkan kitab suci yang lain. Dan, sampai hari ini banyak terjadi peristiwa pertumpahan darah di dunia ini, yang dilatarbelakangi keyakinan terhadap kitab suci. Orang menyebutnya sebagai akibat fanatisme buta.



Salah satu dari kitab suci itu adalah Al Quran. Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dan diturunkan di jazirah Arab. Karena itulah kitab suci umat muslim ini berbahasa Arab pula. Al Quran pun sejak diwahyukan hingga hari ini menjadi bahan kajian yang tak pernah habis. Baik umat muslim maupun non-muslim seolah berlomba mencermatinya, baik mencari-cari keunggulan maupun kelemahannya.

Disebabkan keunggulan dan keunikannya itulah, lalu ada beberapa pihak berupaya keras untuk menyelewengkannya dengan cara memasukkan ayat-ayat palsu. Beberapa Al Quran dengan sisipan ayat-ayat palsu pun sempat beredar di masyarakat, melalui media cetak maupun elektronik. Namun sebagaimana jaminan Allah Swt dalam Q.S. Hijr: 9, tegas difirmankan: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maka, kejahatan terhadap kitab suci umat muslim itu pun selalu terbongkar.

Sampai hari ini Al Quran masih menjadi “musuh” bagi sebagian manusia. Tidak sedikit orang yang tidak pernah tuntas mempelajarinya, tapi terburu aprioristis terhadap kitab suci ini. Ajaran tauhid yang dibawa Nabi akhir zaman itu dikirakan sebuah arus pemikiran yang ekstrem, yang bakal merusak tatanan dunia yang sudah dikuasai hegemoni Barat. Namun, kejutan demi kejutan bermunculan menyusul ditemukannya kecocokan antara ilmu pengetahuan modern dengan ayat-ayat dalam Al Quran.

Salah satu buku yang sempat menghebohkan dunia adalah karangan Maurice Bucaille berjudul Bibel, Quran, and Sains Modern. Seorang dokter berkebangsaan Perancis yang mendalami bahasa Arab agar benar-benar mampu memahami teks asli Al-Quran. Sejak diterbitkannya pada tahun 1976 (best-seller) Bucaille memperoleh reputasi mengesankan sebagai pengulas Kitab-kitab Suci, terutama Al-Quran. Selanjutnya, pada tahun 1984 ia menulis kembali dengan judul What is the Origin of Man? The Answer of Science and the Holy Scriptures. Kedua buku tersebut sudah diterjemahkan di Indonesia.

Allah Swt sendiri telah menantang para pemalsu yang bermaksud menyelewengkan isi kitab suci umat Islam itu. Difirmankan dalam Q.S. Al Israa: 88, Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. Sebuah tantangan yang telanjang dan tegas.

Maka, sebagai sekumpulan firman Allah Swt, Al Quran menjadi satu-satunya kitab suci yang siap adu argumentasi dengan siapa pun dan materi apa pun. Silakan mempelajari Al Quran dari berbagai sudut keilmuan yang ada di alam semesta ini. Kritisi isinya. Tidak harus sepakat, sebab yang tidak sepakat pun diperkenankan. Sebab kitab suci ini diberlakukan dan diperuntukkan secara universal bagi alam semesta ini, dengan satu tujuan memuliakan manusia sebagai khalifatullah fil ardh.

Manusia Sebagai Pusat
Disadari atau tidak, setiap sosok individu pada dasarnya merupakan pusat kendali. Ia dikodratkan menjadi pemimpin. Dan sebagai orang yang ditakdirkan menjadi pemimpin, tentu dalam penciptaannya telah dilengkapi dengan seperangkat “alat” untuk dimanfaatkan dalam memimpin. Alat itu adalah segala hal yang ada dalam jasmani dan ruhani manusia, yang sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Manusia lebih sempurna dan lebih mulia.

Dalam mengarungi hidup setiap manusia tentu menghadapi fenomena alam siang dan malam, seperti dirinya mengalami kesenangan dan kesedihan. Persis keadaan alam semesta yang tidak abadi, jasad menusia pun bersifat fana. Ia yang hari ini ada, sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan lebih dulu, tiba-tiba menjadi tidak ada. Kefanaan manusia yang misterius itu sesungguhnya merupakan pembuktian –bagi manusia yang berakal– bahwa dirinya amat sangat tidak berdaya.

Adanya takdir kepemimpinan di satu sisi dan takdir ketidakberdayaan pada sisi yang lain, memberikan pelajaran bahwa setiap sosok manusia akan selalu membutuhkan pertolongan. Permintaan pertolongan itu bisa kepada makhluk ciptaan atau kepada Sang Penciptanya sendiri. Pada titik inilah manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membutuhkan kecerdasan. Mengapa butuh kecerdasan? Karena hanya individu yang cerdaslah dapat memilih secara benar, minta tolong dengan bersimpuh kepada makhluk ciptaan atau kepada Sang Penciptanya itu.

Namun, kenyataan di muka bumi ini tidak sedikit manusia yang meminta tolong terhadap benda-benda (baca: berhala) yang diciptakannya sendiri, baik dalam wujud di alam pikir maupun fisik. Kesesatan ini, di samping sulit diterima akal, sekaligus memberikan gambaran empirik bahwa dalam dinamika pemikirannya pada diri manusia itu sebenarnya sudah tertanam keyakinan mengenai keberadaan Sang Pencipta. Adanya “sesuatu” yang memiliki kekuasaan dan kekuatan maha dahsyat. Ketidaktahuan atau kebodohannya telah mendorong imajinasinya. Dan, situasi itu menjadi dasar pijak berpikir salah.

Karena itu, untuk mendapatkan kebenaran setiap individu terlebih dulu wajib memiliki dasar pijak berpikir yang benar. Tapi tentang nilai benar dan salah, ternyata masih banyak orang kebingungan, hingga ada sebagian individu yang berkesimpulan bahwa kebenaran itu relatif. Tergantung dari sudut amatan dan parameter yang digunakan. Maka, kemudian tidak sedikit pihak yang ketika menghadapi suatu problema mengatakan: Semuanya benar dan semuanya salah! (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar