Minggu, 17 Januari 2010

Eksistensi Tuhan Allah dan Ruh

Berbincang tentang eksistensi Tuhan dan ruh memang menarik. Baik dari sisi filsafat maupun dari sudut theologi. Dialog –bukan perdebatan– di kalangan umat pemeluk agama maupun mereka yang menganut faham atheis, kadang menggelitik pikiran yang menarik-narik diri untuk ikut nimbrung. Seakan ada kepentingan yang begitu urgent dan sangat penting untuk segera diselesaikan, agar tidak terjadi bencana lebih besar.



Bagi para penganut theis, adanya umat yang bimbang, meragukan, atau kehilangan sama sekali rasa keimanan terhadap keberadaan tuhan, adalah bencana. Mereka benar-benar kehilangan kesempatan untuk menikmati taman firdaus. Kenikmatan surga yang luasnya, keindahannya, serta ragam kesenangan yang tak pernah ada dalam penginderaan manusia. Karena itu masalah keimanan kepada tuhan merupakan problema hidup yang tidak dapat diremehkan oleh manusia mana pun.

Mengapa ada manusia yang butuh tuhan? Jika kita merunut dari berbagai literatur tentang filsafat, antropologi, maupun kebudayaan manusia, ternyata pencarian terhadap “sesuatu” –yang kemudian disebut tuhan itu– sudah sepanjang sejarah umat manusia itu sendiri. Tidak semata di dunia Barat, tapi juga di dunia Timur. Konsekwensinya setelah itu adalah “lahirnya” tuhan-tuhan buatan manusia, yang diolah dari alam khayali, untuk kemudian dijadikan obyek sesembahan.

Sedangkan bagi para penganut atheis, tuhan itu tidak ada. Wujud keniscayaan kehidupan yang penuh ketidakadilan, bencana, kemiskinan, penindasan, serta kerusakan bumi yang menjadi-jadi, membuktikan tesis tersebut. Mereka berdalih, bila benar tuhan itu ada, tentu dengan kemahakuasaannya akan menjadikan kehidupan manusia di dunia ini semakin baik. Wajar bila kemudian judul pada sampul muka majalah terkemuka dunia TIME, pada edisi 8 April 1966: Is God Dead?.

Lubang Perlindungan
Seorang ulama ketika menjawab pertanyaan Penulis menjawab, orang-orang yang berpaham atheis itu meniadakan tuhan karena mereka tidak berada di lubang perlindungan. Dijelaskannya, pada situasi perang hebat, penduduk sipil maupun pasukan khusus, tentu bersembunyi di lubang perlindungan. Mengapa? Ulama itu menjawab pertanyaannya sendiri, mereka takut mati. Padahal andai mereka meyakini tuhan itu tidak ada –sehingga tiada pula pertanggungjawaban atas perilaku manusia di dunia– lalu apa yang ditakutkan dengan kematian?

Bagi penganut paham atheis, kematiannya tidak jauh dengan kematian seekor anjing atau hewan lainnya. Mati ya mati. Itu saja, dan selesai. Jasad fisik mereka tidak lebih terhormat dari bangkai. Maka, bila ada penganut atheis yang berwasiat agar mayatnya dikremasi, kemudian abunya minta ditaburkan di sini atau di situ dan agar begini atau begitu, berarti secara hakikat dirinya mempercayai kegaiban. Penganut athies semacam ini, jelas aneh. Sebab segala bentuk kehormatan dan gelar, sekadar untuk membangun citra (image) seseorang baik ketika hidup maupun setelah kematiannya, adalah “sesuatu” yang tidak nyata, tidak wujud.

Karena itu bagi penganut atheis yang fanatik, mereka tak sekadar tidak takut mati, tapi juga tidak peduli terhadap jasadnya pasca kematian. Cerminan perilakunya tatkala masih hidup tentu tidak berpedoman pada nilai-nilai religi. Mereka lebih mengedepankan norma-norma kehidupan antar-manusia, terlepas dari pilihan atas norma positif atau yang negatif. Tidak peduli. Sebab mereka “ikhlas”, tidak butuh penghargaan berupa pahala, atau ketakutan terhadap neraka. Maka tidak pantas penganut atheis takut terhadap kematian.

Kebetulan?
Bagi mereka yang tak beriman, berkeyakinan bahwa alam semesta ini tercipta begitu saja. Alam semesta ini adalah hasil pekerjaan energi. Ada faktor kebetulan. Karena ketiadaan kehendak. Sebab bila energi itu memiliki kehendak, justru mustahil. Karena akan memancing pertanyaan, kehendak siapa yang ada dalam energi? Namun, bila alam semesta ini terwujud dari faktor kebetulan, menimbulkan pertanyaan pula, mengapa bisa tertata rapi dan tersistem.

Untuk menguji apakah benar alam semesta berserta isinya tercipta secara “kebetulan” ataukah karena faktor “kesengajaan”, inilah logikanya. Lawan kata dari frase “kebetulan” adalah “kesengajaan”. Apa itu “kebetulan”, dan apa pula “kesengajaan”? Untuk memahaminya, kita bisa menyimak buku novel religius karya seorang ulama besar asal Libanon, Syaikh Nadim Al Jirs. Dalam karyanya berjudul: Qishshah al Iman bain al Falsafah wa al-‘Ilm wa al Qur’an, ia menjelaskan tentang frase “kebetulan” dan “kesengajaan” dengan apiknya. Di Indonesia buku ini sudah diterjemahkan dengan judul Mengembara Mencari Tuhan.

Ulama besar itu bertanya kepada muridnya, seandainya engkau memiliki percetakan yang memiliki setengah juta huruf yang terpisah kotaknya masing-masing. Lalu, tiba-tiba terjadilah gempa bumi yang sangat kuat sehingga membalikkan, memporak-porandakan, dan mencampuradukkan masing-masing isi kotak itu. Kemudian datang kepadamu seorang pemasang huruf yang memberitahumu bahwa akibat bercampuraduknya huruf-huruf itu secara kebetulan, tersusun sepuluh kata yang terpisah-pisah tanpa saling berkaitan maknanya, maka apakah engkau akan mempercayainya? Saya anggap sebagai hal yang tidak mustahil, jawab muridnya.

Akan tetapi seandainya pemasang huruf itu memberitahumu bahwa pada saat huruf-huruf cetak itu bercampur secara kebetulan, tiba-tiba membentuk sebuah buku yang sempurna, yang terdiri dari 500 halaman, yang memuat suatu qashidah (antologi puisi), yang bait-baitnya secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan yang lengkap, saling berhubungan, saling bersesuaian, serta tampak serasi pula kata-kata, wazan-wazan (pola), qowafi (akhir kata), makna-makna, dan tujuan-tujuannya, maka apakah engkau mempercayai semua itu? Saya sama sekali tidak akan pernah mempercayainya, Syaikh!

Dari dialog logika di atas membuktikan, alam semesta beserta isinya diciptakan dengan kesengajaan. Bentuk pasif “diciptakan” mengandung makna adanya “sesuatu” yang menciptakan, yang tentu saja lebih dahsyat dari kedahsyatan alam semesta itu sendiri. Alam semesta ini, menurut Parmenides, bukanlah wujud. Wujud itu memiliki keharusan dalam sebagai wujud yang azali, yang tidak berubah-ubah dan tidak hancur. Ketika membahas tentang asal-muasal keseluruhan dari alam semesta beserta segala ragam isinya, filosof Yunani ini menegaskan, bahwa segala apa yang berada di luar wujud adalah bukan wujud. Semua yang berubah dan mengalami kehancuran hanya sebagai gejala atau penampakan (apparences).

Ruh bukanlah wujud, tapi penampakan dari wujud. Karena itu ruh tidak dapat disamaartikan dengan wujud yang azali itu. Jika perubahan mengharuskan berkumpulnya wujud dan non-wujud, hal itu mustahil. Bersatunya jasad manusia dengan “wujud” itu (antropomorfisme atau wihdatul wujud) bertentangan dengan logika waras. Sebab wujud adalah abadi. Maka bila wujud adalah tuhan, tentu tuhan itu adalah Allah Yang Maha Esa. Ruh mustahil menyatu dalam wujud Allah. Dengan demikian benarlah pernyataan bahwa setiap manusia hakikatnya adalah anak-anak Tuhan Allah (Bapa), tapi anak-anak itu bukanlah Allah itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar