Kamis, 21 Januari 2010

Terdakwa Utama Itu Bernama Ulama

Ulama menjadi terdakwa utama dalam segala bentuk kerusakan di bumi, karena mereka adalah ahli waris (baca: penerus perjuangan) para nabi. Di pundak merekalah tanggung jawab menjaga nafas moralitas umat, baik umat dari kalangan orang berada, para pemimpin, maupun rakyat jelata. Bila ulama terlena, atau bahkan terjerumus dalam kenikmatan dunia, bersiap-bersiaplah menyaksikan kerusakan yang lebih besar daripada yang mereka saksikan saat ini.



Ulama itu adalah pemuka agama. Dari agama apa pun, ulama memiliki peran sentral yang seolah menjadi wakil Allah Swt di planet bumi ini. Mereka tidak sekadar dilarang, tapi diharamkan menjadi abdi-abdi kekuasaan, bergemerlap kehormatan duniawi, mengumbar syahwat di sana-sini atas nama sunnah Nabi. Karena kehidupan yang demikian itu tak berbeda dengan tingkah laku orang-orang kafir, yaitu kaum yang menutupi kebenaran.

Ulama seharusnya zuhud atau melepaskan diri dari kemelekatan dunia. Mata batinnya tidak terpikat pada keindahan dunia. Kehidupan materinya telah mati. Yang tersisa hanya “nafas” Allah Swt. Tangannya disibukkan dengan upaya tiada henti untuk membangun pemahaman mengenai eksistensi Sang Khalik, kepada seluruh umat tanpa terkecuali. Telinganya dimanfaatkan untuk mendengarkan keluhan orang-orang yang kesusahan, akibat terjerat berbagai permasalahan dunia. Dan, mulutnya tiada henti memanjatkan doa-doa agar keberkahan senantiasa menyelimuti kehidupan.

Orang Kaya
Terdakwa berikutnya, adalah orang kaya. Sebab kekayaan yang mereka miliki pada dasarnya merupakan amanat dari Allah Swt, untuk dibagikan sebagian di antaranya kepada fakir-miskin. Para orang kaya tidak pantas berhaji/umrah berulang-ulang, sementara di seputar dirinya hidup masyarakat yang melarat dan kurang gizi. Atau, kalau pun tidak berhaji/umrah, mereka habiskan kekayaan untuk modal berebut kursi kepala daerah, atau menuruti syahwat menjadi anggota legislatif.

Kala berkampanye mereka berjanji bakal memakmurkan rakyat. Namun, saat keinginan itu sudah tercapai, mereka justru menjadi “perampok” uang rakyat. Dengan berbagai alibi dan dalih, tak sedikit para wakil rakyat atau kepala daerah, justru menjadi semakin kaya. Hampir setiap proyek pembangunan dijadikan ajang pemerasan terhadap para kontraktor. Mutu hasil pembangunan pun jauh dari kualitas yang diharapkan. Bahkan tak jarang terjadi kerusakan pasca diserahterimakan.

Al Quran, yang kala masa kanak-kanak mereka anggap sebagai kitab suci. Berisi firman-firman Allah yang tidak ada keraguan serta menjadi petunjuk dalam menjalani hidup, tiba-tiba tak berharga. Maka, kewajiban mendirikan shalat serta menafkahkan (bersedekah) sebagian rejeki yang mereka peroleh itu, terasa seperti beban, bahkan dianggap merepotkan. Banyak orang kaya semakin rakus sekaligus semakin kikir, sebab mereka takut jatuh miskin.

Mereka semakin abai dengan nasihat Rasulullah Muhammad Saw, ketika menjawab pertanyaan seorang laki-laki yang mengatakan: “Ya, Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang kalau amalan itu kukerjakan, maka aku dicintai Allah dan dicintai manusia”. Nabi pun menjawab: “Janganlah kamu rakus pada dunia, niscaya kamu dicintai Allah, dan janganlah rakus pada apa yang ada (dalam perniagaan) di antara manusia, niscaya kamu dicintai manusia”.

Pemimpin yang Dlolim
Terdakwa ketiga, adalah pemimpin yang dlolim. Apa ciri-cirinya? Pemimpin itu menyukai KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Setiap kebijakannya lebih didasarkan pada motivasi keuntungan semata. Contoh, untuk meraih jabatan tak sedikit pemimpin yang mengadakan “perjanjian” dengan cukong-cukong, yang bakal dibayar dengan jatah proyek. Dan, kedudukan “juara” sebagai negara terkorup di kawasan Asia Tenggara, seolah membuktikan bahwa negara ini memiliki banyak pemimpin dlolim.

Banyak pemimpin yang memiliki motivasi menjadi “maling” daripada pembawa amanah rakyat. Ruang terbuka hijau (RTH) sebagai lahan resapan di kota-kota disulap menjadi mall-mall sekaligus menggusur pasar-pasar trasidional. Bukit-bukit hijau di kawasan puncak yang seharusnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air, untuk menjaga kelestarian sumber air bersih, digunduli untuk vila-vila pejabat maupun orang kaya. Akibatnya rakyat miskin, yang daerah permukimannya kumuh, tak jarang porak-poranda diterjang banjir.

Para pemimpin yang berkedok sebagai wakil rakyat, lebih sering repot dengan kepentingan politiknya ketimbang berpikir soal rakyat. Tak jarang antar-wakil rakyat “unjuk gigi” bagaimana cara mereka berdebat di ruang-ruang sidang komisi maupun sidang pleno melalui siaran live. Lantas, setelah pertunjukkan di ruang sidang, mereka tampil bak selebritis di stasiun-stasiun televisi untuk menunjukkan betapa garangnya dalam hal menanggapi sebuah kebijakan politik. Para mahasiswa yang diundang pun bersorak memberikan support. Tak jauh beda dengan menonton Srimulat.

Setiap orang seharusnya tegas dalam menentukan siapa yang dapat dijadikan pemimpin. Jangan mengambil pemimpin yang hobinya menimbulkan kemudlaratan, yang membuat agama menjadi buah ejekan dan permainan. Jika kita memilih pemimpin yang demikian, hanya karena mendapatkan keuntungan yang sedikit, maka diri kita tak ada perbedaan dengan mereka. Dan, kalau kemudian mereka bertindak korup, tentu kitalah yang patut disalahkan pertama kali, karena kita yang memilihnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar