Sabtu, 05 Desember 2009

Memahami Dinamika Sosial (Bag. 2)

2. Reaktivitas dan Proaktivitas
Bila diperhatikan beberapa dekade terakhir ini, berbagai lembaga pengembangan kepribadian tampaknya terus tumbuh dan semakin berkembang. Tidak terkecuali di Republik ini. Bahkan beberapa lembaga yang relatif menonjol, kebanyakan dikelola atau anak cabang dari lembaga sejenis di luar negeri sebagai induknya. Masyarakat kita seakan terpesona dengan pola baru dalam sistem pengembangan sumber daya manusia tersebut. Orang baru relatif tersadar ketika kalangan pakar human relationship mengingatkan bahwa kebanyakan lembaga pengembangan kepribadian yang tumbuh subur di tengah kehidupan masyarakat metropolis itu tidak lebih dari sekadar servis yang sifatnya lipstik, tokenistik, serta kepura-puraan. Namun demikian tetap patut diakui, karena begitu hebatnya kemampuan promosi yang dikembangkan, nilai-nilai perilaku yang ditawarkannya seolah lebih berderajat daripada nilai-nilai religiusisme yang telah lebih dulu ada.

Sebagai teknik berperilaku, pendidikan beretika kepribadian sebenarnya bukanlah sesuatu yang jelek. Bahkan dapat dikembangkan menjadi hal yang positif bilamana etika kepribadian yang ditumbuhkan itu diarahkan untuk menciptakan etika watak manusia. Dengan kalimat lain, etika kepribadian yang diajarkan dilepaskan dari unsur-unsur kepura-puraan, menjadi perilaku yang mengedepankan sikap kejujuran dan ketulusan. Sebenarnya, bila dicermati secara jujur antara pendidikan pengembangan etika watak dengan etika kepribadian memiliki basis yang sama, yakni merubah “wajah” perilaku manusia ketika berinteraksi sosial. Bedanya hanyalah pada pendekatan batin, yang satu dilatarbelakangi sikap batin keikhlasan, sedangkan yang lain tidak lebih dari sekadar teknik berinteraksi sosial. Itulah sebabnya, untuk yang terakhir ini wujud dari sikap-sikap dan perilaku yang diperlihatkan tidak lebih sekadar mempertontonkan akting belaka.

Pada kodratnya manusia itu adalah makhluk sosial, meski eksistensi dirinya merupakan individu sebagai suatu kesatuan terkecil dan terbatas. Karena itu bersikap dalam pergaulan sosialnya manusia dapat bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, atau untuk dan atas nama kelompok masyarakatnya. Meski sikap yang terakhir ini, bila dicermati tetap bermuara pada pemenuhan kepentingannya sendiri. Tindakan manusia sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok masyarakatnya, dalam menyikapi sesuatu dapat dipahami sebagai tindakan reaktivitas atau tindakan proaktivitas.

Suatu tindakan dapat dinyatakan sebagai sikap reaktivitas bilamana seseorang atau sekelompok orang mereaksi sesuatu yang terjadi diluar dirinya atau kelompoknya itu bersifat “langsung”. Yang dimaksudkan dengan “langsung” dalam hal ini jika tanggapan atau reaksi yang terjadi tidak melalui suatu proses penilaian yang bebas. Contohnya, misalnya kita melihat, membaca, atau mendengar informasi tentang adanya keyakinan atau agama yang tengah “didiskusikan” orang, kita langsung bereaksi. Dan, tanpa jeda berpikir bebas, kita bersikap yang cenderung berwujud serangan fisik, baik verbal maupun non-verbal. Benak kita dalam situasi yang seperti itu kerapkali berusaha mencari kambing hitam, sebagai obyek sasaran yang patut disalahkan karena dianggap sebagai pemicu terjadinya tindakan pemecatan.

Bentuk sikap reaktivitas semacam itu pada umumnya dilatarbelakangi watak pribadi yang tidak ingin disalahkan. Itulah sebabnya, seseorang dengan watak yang demikian selalu berpikiran bahwasanya tindakan yang dilakukannya adalah benar. Bila kemudian ternyata tidak benar, maka ketidakbenaran itu disebabkan oleh adanya kesalahan sesuatu yang lain, baik kesalahan manusia atau kesalahan sesuatu yang lain di luar dirinya. Rasa subyektivitas yang tinggi pada diri manusia semacam itu akan senantiasa memandang sesuatu yang ada di luar dirinya adalah obyek. Padahal, kata Schumacher, memperlakukan seorang pribadi seakan-akan ia hanya semata-mata sebuah obyek adalah suatu kesesatan, untuk tak mengatakan suatu kejahatan (E.F. Schumacher, A Guide For The Perplexed,1982)

Sedangkan suatu tindakan dapat dinyatakan sebagai sikap proaktivitas, jika seseorang atau sekelompok orang mereaksi sesuatu yang terjadi diluar dirinya atau kelompoknya itu dengan keputusan yang apresiasinya atas peristiwa yang menimpa itu, tidak dianggap sebagai “cuaca” yang mempengaruhi keputusannya. Dengan demikian keputusan serta tindakan apa pun yang muncul kemudian adalah hasil dari sebuah kehendak bebas, yang sudah diperhitungkan dampak dan risikonya. Pribadi yang demikian memandang subyek lain, baik sebagai individu maupun kelompok sosial sebagai subyek-subyek lain seperti juga dirinya.

Jadi adanya kehendak bebas, merupakan perbedaan mendasar dari kedua macam sikap tersebut di atas. Kehendak bebas yang dimaksudkan di sini adalah adanya kesempatan atau jeda yang membiarkan pikiran-pikiran secara bebas untuk melakukan analisis atas peristiwa yang terjadi, sebelum pikiran-pikiran itu memutuskan untuk bertindak. Misalnya, masih dalam contoh kasus di atas, pribadi yang bersangkutan dengan peristiwa itu melakukan kajian dan mencermati terlebih dulu secara utuh latar belakang dan penyebab terjadinya dialog tentang kepercayaan atau agama itu. Bila ternyata dari kajian tersebut diperoleh dasar alasan yang tidak berdasar, sudah tentu adalah kewajiban bagi yang bersangkutan untuk melakukan klarifikasi sampai kepada tindakan tuntutan hukum. Sebaliknya, bila terbukti memang ada unsur kesalahan yang dilakukannya, maka adalah wajar bila menerima segala bentuk konsekwesninya.

Tentang kehendak bebas ada baiknya kita renungkan juga pendapat Dr. E.F. Schumacher, seorang doktor penulis buku Kecil Itu Indah yang terkenal itu mengatakan, kita umumnya hampir setiap saat berperilaku dan bertindak mekanik, seperti sebuah mesin. Kemampuan penyadaran diri yang khas insansi tertidur, dan si manusia bagaikan seekor hewan, bertindak kurang lebih secara cerdas semata-mata sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Hanya jika seseorang memanfaatkan kemampuan penyadaran dirinya ia dapat mencapai tingkat seorang pribadi, tingkat kebebasan. Pada saat itulah ia hidup, bukan dihidupkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar