Sabtu, 05 Desember 2009

Kekuatan Berpikir Religiusisme (Bag. 1)

Berfikir religius adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya maupun di luar dirinya dengan menggunakan parameter norma atau ajaran agama yang dianutnya. Dengan tindakannya itu, manusia yang bersangkutan telah memiliki iman, yaitu suatu keyakinan yang kuat dan dapat difungsikan sebagai penguat (booster) yang mewujud dalam segala bentuk perilakunya. Ajaran agama dalam hal ini diyakini sebagai “tata cara” bagi mahluk Tuhan yang bernama manusia itu, bagaimana dirinya harus berperilaku, baik dalam hubungannya antar-mahluk hidup itu sendiri maupun hubungannya dengan alam semesta, dan Al Khaliq sang Pencipta.

Tingkat pemahaman manusia terhadap hakekat makna hidupnya (the meaning of life) memang terlampau sulit untuk diukur. Dari berbagai literatur filsafat yang berbasis pada pendekatan fenomenologis, masih belum mampu menggambarkan dalam potret yang utuh tentang bagaimana sosok manusia yang telah memahami makna hidupnya itu berwujud. Namun secara garis besar, ada 2 (dua) aliran besar dalam memotret makna tentang kehidupan manusia. Pertama, golongan yang menggunakan pendekatan materialistis sebagai basis parameternya, sehingga memaknai kehidupan ini dengan ukuran-ukuran keberhasilan yang bersifat bendawi-ragawi. Kedua, golongan yang menggunakan pendekatan spiritualistis sebagai dasar parameternya, sebab itu kehidupan ini dimaknai dengan ukuran-ukuran keberhasilan yang bersifat spiritual-religius. Singkatnya, ada segolongan orang yang mengejar kekayaan dlohiriyah, dan ada segolongan orang yang memburu kekayaan batiniyah.

Untuk golongan pertama dimotori oleh kalangan pemikir, seperti Nietzsche, Albert Camus, Jean Paul Sartre, Hegel, Karl Marx, dan seterusnya. Sedangkan untuk golongan kedua, dapat dicatat nama-nama seperti Karl Jaspers, Ignace Lepp, Mahatma Ghandi, Imam Al Ghazali, dan masih banyak lagi. Menariknya, apa pun golongan alirannya, manusia-manusia yang dapat dinyatakan sudah mencapai puncak atau berada pada titik kulminasi dalam pencapaian tujuan hidupnya, warna kehidupannya menjadi relatif pasrah. Tentunya kita sudah sering mendengarkan kisah hidup para The Godfathers, bos-bos mafia yang setelah merasakan segala tuntutannya selalu terpenuhi, tiba-tiba ia begitu merasakan adanya “kemiskinan” spiritual. Situasi kejiwaan yang ditandai dengan rasa kepasrahan, diikuti dengan sikap-sikap yang cenderung tenang dan berani dalam menghadapi tantangan hidup. Berani bertindak ekstrem! Coba perhatikan tindakan orang superkaya Chuck Feeney, pendiri ratusan buah toko bebas pajak di bandara-bandara di seluruh dunia, yang pada 1984 telah menyumbangkan 99,5% kekayaannya yang berjumlah 3,5 milyar US Dollar kepada sebuah yayasan sosial (Burke Hedges, Copycat Marketing 101, 2001, 31)

Kalau dicermati, meski tak sepadan dengan pendapat Prof. Chris Argyris, kecenderungan sikap tersebut di atas ternyata memiliki nilai dasar yang sama dengan karakter kepribadian eksekutif yang sukses menurut pandangan Guru Besar dari Universitas Yale, Amerika ini, yakni memiliki sikap toleransi pada rasa frustasi yang memuncak. Meski pendapat ini mendapat tantangan dari penulis buku The Effective Executive, Peter F. Drucker, yang menyatakan dirinya mengenal banyak eksekutif yang sangat efektif dan sukses, yang tidak banyak mempunyai karakterisitik Argyris tersebut (Burke Hedges, Copycat Marketing 101, 2001, h. 31).

Keadaan ini berbeda dengan pendapat Paul G. Stoltz, PhD, penulis buku yang berjudul “Adversity Quotient (AQ)”, yang menyatakan kecerdasan seseorang dapat diukur dengan kemampuannya mengelola kesengsaraan atau kemalangan menjadi peluang untuk mencapai sukses.

Dengan berpikir religius yang benar, manusia dapat memahami bahwasanya ibadah adalah ibadah itu sendiri. Maksudnya, ibadah kepada Allah tidak perlu dititik-kaitkan dengan persoalan manusia dan dinamika kehidupannya. Persoalan umur dan mati, persoalan rizki dan kebangkrutan, maupun persoalan keselamatan, kecelakaan atau musibah, termasuk kesuksesan hidup itu sendiri, adalah pernik kehidupan. Sedangkan keberimanan dan beribadah kepada Allah adalah obat, manakala manusia terguncang jiwanya menghadapi gelombang kehidupan. Baik pada saat manusia itu berada “di atas” maupun ketika manusia itu terjungkal “ke bawah”. Dalam pandangan agama, eksistensi manusia itu sangat lemah, sehingga mudah terpengaruh dengan situasi yang ada diseputar dirinya. Dan, keyakinan agama adalah penguatnya.

Namun demikian, yang dimaksudkan dengan berpikir agamis bukan seperti apa yang dikhawatirkan oleh kalangan sosiolog yang mengkritisi tentang pertumbuhan rasa spiritualitas masyarakat pasca modernitas dengan apa yang disebut komersialisasi pengalaman religius. Dan, apa yang dipancarkan oleh religi konsumeris semacam itu bisa ditemukan di lingkungan kita. Berkembangnya pengikut latihan-latihan meditasi mistikal yang berorientasi instan kesalehan, larisnya para pedagang spiritual (religious entrepreneurs) yang menjajakan “janji-janji” penenang, serta digandrunginya bintang-bintang “budaya pop” dan kyai ngepop sebagai penceramah agama merupakan contoh konkret dari bentuk konsumerisasi pengalaman-pengalaman spiritual.

Victor I. Tanja, dosen Islamologi pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, bahkan mengatakan, seperti yang kita saksikan sekarang ini, para muda-mudi berbondong-bondong beribadah di masjid, gereja, dan kuil, namun yang mereka cari adalah ketenangan dan kedamaian batin pribadi yang berfungsi sebagai obat penyembuh penyakit ketidakmampuan menghadapi tantangan hidup (Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol. V, 1994, 76).

Perhatikan nasihat dari cuplikan perkataan Nabi Muhammad Saw di bawah ini:
“Setiap musibah yang menimpa seorang muslim, baik itu berupa kesusahan, kesakitan, kesedihan, termasuk segala hal yang menimbulkan beban dalam pikiran, kesemuanya itu akan menghapus dosa-dosanya.” - (H.R. Muslim).

Dan, perhatikan pula nasihat dari cuplikan Firman Allah dalam Al Quran di bawah ini:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimba musibah, mereka mengucapkan: Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami kembali” (Al Qur’an, Terjemahan Departemen Agama R.I., Jakarta, 1989, Q.S. Al-Baqoroh ayat 155, 39.) (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar